Aku tidak pernah menyangka akan bisa mencintaimu sedalam ini. Mungkin aku bodoh karena mencintai orang yang sulit untuk aku gapai. Sulit untuk memilikinya di saat kita tau untuk siapa hatinya saat ini berharap.
Atha melirik dua pasutri yang tengah tersenyum bahagia. Ya, mereka adalah Gaitha dan Alva yang kini saling tersenyum. Meratapi semua rasa yang pernah ada dan kini sulit untuk di lupakan. Terlalu banyak hal yang ingin dilakukan sampai lupa akan tujuan sebenarnya.
"Tha! Lo dari gue mau apa?" Alva ujuk-ujuk langsung menanyakan hal itu pada Atha yang nanya menyernyitkan keningnya bingung. Alva membersihkan tempat di sisinya dan meminta Atha untuk duduk di dekatnya. "Sini, duduk bareng kita."
Mau tidak mau Atha menghampiri keduanya dengan tangan yang membawa satu cup Oreo Milk yang barusan ia beli. "Kenapa?" Atha menyamakan posisinya dengan Alva dan Gaitha.
Bukannya menjawab Alva malah tertawa melihat tingkah Atha. "Nggak usah di tekuk gitu mukanya!"
"Emangnya baju pake di lipet?" Atha membalasnya dengan malas.
Alva menghela napasnya untuk menetralkan tawanya. "Lo tau sendiri kalau gue sama Gaitha itu udah kayak saudara dan lo termasuk. Jadi, jangan ngerasa tersisihkan gitu dong!"
Atha memejamkan matanya sejenak, "Gue nggak ngerasa tersisih. Cuma, gue lagi berusaha untuk ngilangin rasa gue buat Gaitha. Lo hai sendiri semenjak gue paham akan agama, semua itu membuat gue nggak mau lebih jauh nyimpan rasa dan memilih ngungkapin meski kenyataannya sakit."
"Kalau tau seiman juga udah gue ajak jadian dari orok," ujar Atha semakin ngawur.
"Jagain aja adeknya. Kasihan juga gue lihat lo yang terus merenungi nasib percintaan yang nggak ada ujungnya itu. Tapi, gue berdoa supaya lo dapat jodoh yang sepantasnya."
"Jangan sedih, Tha. Gue tau gimana perasaan lo sama gue." Gaitha sibuk nyemil permen kapas yang dibelikan oleh Alva tadi. Sesekali ia ikut nimbrung mengobrol bersama dengan kedua sahabatnya.
"Emangnya lo pernah suka sama siapa?" Alva bertanya penasaran.
"Atha," jawabnya singkat yang berhasil menarik perhatian mereka berdua. "Gue pernah suka sama Atha dan itu masih SMP. Ya, sebelum Alva nembak gue."
"Nggak usah kaget gitu mukanya!" Gaitha menoyor kepala mereka satu persatu dengan gemas. Kenyataan memang terkadang sulit untuk di terima. Sama halnya apa yang dikatakan oleh Gaitha, mereka menganggapnya hanya bercanda, padahal itu yang sebenarnya.
"Gue nggak percaya," ungkap Alva hang diangguki oleh Atha pertanda setuju.
Gaitha memanyunkan bibirnya, "Serius! Gue suka sama dia udah dari lama. Setelah tau alasan dia selalu nolak pergi di hati Minggu pagi ternyata dia mau ibadah, gue sadar kalau cinta yang udah gue punya hanya akan berakhir percuma."