GAJAH MADA CILIK

Gie_aja
Chapter #1

NAMAKU GAJAH MADA

Namaku Gajah Mada. Usiaku 10 tahun. Aku tinggal di kampung bersama ibuku. Bapakku kerja tukang bangunan gedung-gedung tinggi di kota. Tubuhku kecil dan kurus, teman-temanku tak main bola bersamaku. Mereka takut jika tubuhku terkena hempasan bola, tulang-tulangku akan rontok. Makanya aku selalu jadi pemain cadangan, atau lebih sering tidak di ajak main.

“Ibu, aku mau protes,” kataku pada Ibuku.

“Protes kenapa?” jawab Ibu.

“Kenapa namaku Gajah Mada? Tubuhku kecil dan kurus. Gajah Mada itu seorang patih terkenal. Badannya besar dan kuat, tidak seperti aku.”

Ibuku tersenyum kecil melihatiku, “Dulu juga ketika Gajah Mada masih kecil. Tubuhnya seperti kamu. Nanti kalau kamu udah dewasa, kamu juga akan punya tubuh besar dan kuat seperti Patih Gajah Mada.”

“Masa sih, Bu?”

“Iya,” kata Ibu dengan yakinnya, sambil tersenyum padaku. Hatiku mendadak sedih lagi, “Teman-temanku tak mau main bola denganku. Mereka takut tulang-tulangku rontok kalau diajak main bola.”

Ibu menghampiriku, dan menengadahkan wajahku, “Jangan dengarkan mereka. Tubuhmu kuat. Tulang-tulangmu juga kuat. Kamu ingat’kan ketika kamu jatuh dari kasur, kamu nggak kenapa-napa. Tulangmu juga nggak ada yang patah. Iya kan?”

“Iya sih, Bu. Tapi temen-temenku .…”

“Dengarkan Ibu saja ya, Mada.”

‘Iya, Bu,” kataku sambil manggut kecil.

***

Esoknya aku coba meyakinkan teman-temanku bahwa tubuhku kuat, tulang-tulangku juga tidak gampang patah. Ibuku bilang begitu padaku, tapi mereka malah menertawaiku. “Coba kamu angkat batu itu,” kata Idrus salah satu temanku. Aku melihat ada sebuah batu yang cukup besar tidak jauh dari kami, lalu aku coba mengangkat batu itu dengan kedua tanganku, ternyata aku bisa mengangkatnya meskipun berat. “Nihhh aku kuat, kan,” kataku dengan bangga di depan mereka.

“Hati-hati, Mada,” kata Jamal, temanku yang lainnya. Mereka terheran-heran melihatku. Ketika aku meletakkan batu itu, tanganku terkilir. Auwww rasanya sakit. Jamal dan temanku yang lain menghampiriku, tapi Idrus menatapku sinis seakan meremehkanku.

“Makanya jangan sok kuat kamu!” seru Idrus.

“Aku nggak apa-apa. Aku kuat,” kataku meyakinkan Idrus dan mereka, “Boleh aku ikut main bola?” lanjutku lagi.

“Nggak boleh,” sentak Idrus.

Hatiku sedih menanggapi jawaban temanku Idrus, lalu Jamal beranjak di depanku, lalu berhadapan dengan Idrus.

Jamal membelaku, “Kenapa nggak boleh? Mada teman kita juga.”

“Jangan belain anak lemah. Nanti kalo kenapa-napa, kita juga yang repot.”

Mendengar itu, aku langsung membela diri, “Aku nggak lemah. Tadi kamu lihat sendiri, aku kuat angkat batu.”

“Iya, Mada bukan anak lemah,” balas Jamal mendukung aku.

“Pokoknya nggak bisa,” tegas Idrus.

Teman-temanku yang lain seakan mendukung Idrus, tapi Jamal tak kenal lelah membelaku supaya aku bisa ikutan main bola.

Setelah terjadi perdebatan antara Jamal dan Idrus, akhirnya mereka setuju main bola denganku, tapi mereka tak pernah mau meng-over bola kepadaku. Apalagi Idrus, meskipun aku berada dekat dengannya, ia seperti tak perduli.

“Tendang bolanya kesini, Jamal,” kataku pada Jamal sahabatku.

Jamal menendang bola tepat kearahku, dan tendangannya sangat kuat mengenai dadaku. Nafasku sesak dibuatnya. Kepalaku mendadak pusing seperti mau pingsan, tapi aku berusaha kuat berdiri. Teman-temanku menatapku khawatir, lalu mereka menghampiriku.

“Kamu nggak apa-apa, Mada?” tanya Jamal padaku.

“Aku nggak apa-apa,” jawabku santai, karena aku tak mau terlihat lemah di depan mereka, terutama di depan Idrus.

“Main bola tak cocok buat kamu, Mada,” kata Deden, temenku yang lain, “Sebaiknya kamu nggak usah ikutan main bola lagi.”

“Namamu Gajah Mada, tapi kamu nggak sekuat Gajah Mada,” kata Idrus sinis, “Ganti namamu jadi Badar. Badan Garing.”        

“Jangan Badar, tapi Guling. Gulali Kering,” balas Deden.

Mereka menertawakanku lagi. Aku diam dan tertunduk, ketika mereka sepakat mengeluarkanku dari tim sepak bola. Jamal sahabatku terdiam kasihan melihatku. Ia tak bisa berbuat apa-apa di depan teman-teman lainnya.

“Pulang sana …! Kamu nggak cocok main bola. Cocoknya main congklak sama anak cewek,” seru Idrus sambil mendorong tubuhku, lalu mereka melanjutkan main bola lagi, tanpa aku.

***

“Ibu, aku mau protes lagi,” kataku setibanya di rumah ketemu Ibu.

“Protes apa lagi?” jawab Ibu dengan lembut. “Aku mau ganti nama,” tegasku.

Ibu menatapku heran, “Namamu kan bagus. Gajah Mada. Keren lho.”    

Lihat selengkapnya