Di kampungku ada sebuah rumah besar. Rumah itu miliknya almarhum Pak Burhan, orang asli kampung kami yang dulu sempat merantau ke kota, lalu sukses di kota, lalu membangun rumahnya di kampung. Almarhum Pak Burhan mempunyai seorang istri, namanya Bu Arini, dan dua orang anak, yaitu Salma dan Devina. Salma itu anak tirinya Bu Arini, sedangkan Devina itu anak kandungnya Bu Arini. Usianya Salma sama denganku, 10 tahun. Devina si adik usianya 8 tahun. Sebagai kakak, Salma baik pada Devina, tapi Devina selalu memperlakukan Salma sesuka hatinya. Aku sering melihat Salma membersihkan rumah dan halaman seperti pembantu di suruh ini dan itu, sedangkan Devina hanya duduk santai-santai saja.
Sore itu aku dan Jamal melihat Salma sedang menangis di gubuk tua yang sudah tak terpakai. Kami menghampiri Salma, dan menemaninya. Kebetulan aku dan Jamal membawa singkong rebus, dan kami makan bersama di sana. Salma terhibur dan bisa tersenyum lagi dengan adanya aku dan Jamal.
Bu Arini melihat kami, lalu teriak sambil melotot geram memanggil Salma, “Salmaaa …! Sini kamu …!”
Salma yang ketakutan tak berani kabur lagi. Salma menghampiri Bu Arini, dan langsung di jewer oleh ibu tirinya, “Jujur sama mama …! Kamu bikin Devina nangis, iya …?” Salma mengangguk pelan, “Devina jorokin aku sampai jatuh, terus aku marahi. Devina malah nangis.” Mendengar itu, Bu Arini bertambah geram, lalu jewerannya semakin kencang memelintir kupingnya Salma. Salma meringis, “Ampun, ma. Ampun … Ampuuunn …”
Aku dan Jamal menghampiri Bu Arini. “Tolong jangan jewer Salma, Tante,” kataku memohon pada Bu Arini.
“Jangan ikut campur. Dasar anak kampung,” balas Bu Arini, lalu menarik tangan Salma pergi dari hadapan kami.
“Yukkk kita ikutin mereka,” tanggap Jamal, lalu kami diam-diam kami mengikuti Bu Arini yang kasar menarik tangan Salma pulang.
Aku dan Jamal mengendap-endap masuk ke halaman rumah besar itu, lalu melihat dari jendela kaca. Kami melihat Bu Arini memukuli Salma dengan sapu lidi. Salma menangis dan memohon ampun pada ibunya. Sedangkan Devina tersenyum sinis melihat kakak tirinya.
“Ampun, ma … Ampuuunnn …,” seru Salma sambil menangis.
“Nggak ada ampun buat kamu. Berani kamu bikin Devina nangis lagi. Mama akan bikin kamu nangis juga!” balas Bu Arini dengan galaknya.
“Kasihan Salma,” seruku dalam hati. Aku dan Jamal tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Salma.
Esoknya ketika aku mau berangkat sekolah, aku melewati rumah itu lagi. Aku melihat Salma sedang mengepel lantai. Salma terlihat kelelahan. Aku menghampiri Salma, dan memberikan ubi manis bekalku dari Ibu.
“Mau…?” tanyaku pada sahabatku Salma.
Salma mengangguk kecil, lalu mengambil ubi manis itu dari tangannya, lalu memakannya dengan lahap, “Makasih, Mada,” kata Salma dengan senyumannya.
Aku pun balas tersenyum juga, “Kalo masih kurang, aku masih punya satu lagi ubi manis.”
“Nggak. Ini cukup kok buat aku kenyang,” jawab Salma, lalu ekspresinya berubah sedih, “Dari semalam aku belum makan. Jadinya aku lapar.”
“Kenapa Mama kamu jahat sama kamu…?”
“Sebelum Papaku meninggal. Mama kandungku udah lama meninggal. Sekarang aku tinggal sama Mama tiri dan saudara tiri,” jawab Salma pelan dan sedih.
“Mama tiri. Saudara tiri. Ohh pantes,” tanggapku.
***
Sepulang dari sekolah, aku membungkus makanan apapun dari rumah. “Mau kemana kamu, Mada …?” tanya Ibu. “Aku mau ke rumah temen, bu,” jawabku.
“Ngapain bawa makanan? Apa temenmu nggak punya makanan?”
“Kasihan temanku, bu.”
“Siapa temanmu, Mada …?”
“Salma,” jawabku singkat, lalu aku langsung pamitan pergi.
***
Rumah besar itu selalu terlihat sepi. Aku mengendap-endap aku masuk ke halaman rumah, lalu memanggil namanya Salma pelan-pelan, “Salma … Salmaaaa .…”