Di sebuah kereta yang sedang melaju kencang, Asih tak kuasa menahan air matanya setelah mendengar berita bahwa Ayahnya sudah tiada. Sepanjang jalan dia membanjiri pipinya dengan air mata. Furqon yang menemaninya hanya bisa menenangkannya, dia bingung untuk melakukan apa, apa lagi mereka baru berkenalan kemarin.
Namun duka Asiih tak mereda, Furqon mengira bahwa Asih sangat mencintai Ayahnya, namun apa yang dirasakan Asih justru perasaan bersalah yang amat besar. Dia tak bisa menjadi anak yang Ayahnya itu harapkan, bahkan Asih pernah mengusir ayahnya karena dia mabuk.
Mereka sampai di stasiun kampung halaman Asih, dia berusaha bangkit dan meneguhkan hati untuk menerima semua kenyataan ini. Dia tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini, yang pasti usahanya untuk membawa lelaki soleh untuk dijadikan suaminya itu menjadi sia-sia.
“Kenapa? padahal aku ngerasa waktuku masih lama karena berhasil mendapatkan calon suami dengan waktu yang singkat.”
Asih tidak menyesali usahanya, yang dia sesali adalah perbuatan nya kepada Ayahnya. Furqon membantu Asih untuk melangkah keluar dari kereta.
“Ka Furqon, Sepertinya pernikahan kita batal, maaf udah jauh-jauh bawa kaka kesini. Sekarang kaka bisa kembali ke Jakarta. Nanti aku beliin Tiketnya.” dengan mata yang sembab, dan pipi yang basah Asih melakukan perpisahan pada Furqon.
“Tidak, Aku akan menemanimu ke rumah.”
Furqon bukanlah lelaki yang setega itu, apalagi dia baru melihat perempuan yang menangis dengan rasa kehilangan yang sangat dalam, Hatinya tergugah, dia tidak bisa meninggalkan wanita dengan kondisi seperti itu sendirian.
Ditambah, kampung Asih ini mengingatkan akan ingatan masa kecilnya yang hilang akibat trauma. Walaupun ingatan itu muncul dengan samar-samar. Dia Pun mengantarkan Asih kerumahnya, walau sepanjang jalan kepalanya mengalami sakit kepala yang dahsyat namun singkat. Rasanya seperti Ada kilatan listrik di kepalanya namun dengan cepat kembali hilang. Dia merasakan bahwa semakin dia pergi ke kampung Asih semakin ingatan yang hilang itu terbuka.
Sampailah Asih di rumahnya, namun tak ada seorangpun disana. Seseorang memberitahu Asih bahwa Ayahnya sekarang dalam proses penguburan. Asih bergegas ke pemakaman walaupun dengan rasa kesal.
“Kenapa mereka tidak menunggu kepulanganku, padahal cuman dua jam mereka memberi tahuku sebelum Abah meninggal.”
Asih terus menggerutu sepanjang perjalanan ke makam, dengan langkahnya yang lebar dan cepat membuat Furqon tertinggal.
Benar saja, proses penguburan telah selesai tanpa menunggu kehadiran Asih. Tertancap sebuah nisan yang terbuat dari kayu yang bertuliskan nama Ayahnya Asih. Dia pun memeluk nisan itu dan menangis dengan kencang. Furqon menepuk pundaknya dan meminta Asih untuk meridhoinya.
Orang-orang di makam keheranan melihat ada orang yang mereka tidak kenali, Furqon merasa canggung dengan kejadian itu. Lalu dia membuka tangan nya dengan posisi berdoa, Dia memimpin doa untuk Abahnya dan diikuti oleh orang-orang disana.
Asih terheran dengan apa yang dilakukan oleh Furqon, padahal dia bisa pulang sekarang juga, tapi dia mendampingi Asih seolah dia suaminya Asih. Sungguh calon suami yang mengagumkan, idaman semua wanita. berbeda sekali dengan lelaki yang dulu dipacari oleh Asih. Walau sesaat tapi Asih menginginkan Furqon tetap berada di sisinya.
Doanya pun terkabul, Furqon terus berada di sisinya. Dia bahkan menginap dan membantu keluarga Asih untuk tahlilan, mulai dari mempersiapkan Makanan sampai memimpin doa untuk mendiang, Furqon lakukan tanpa meminta imbalan apapun.
Satu minggu sudah Furqon berada di Rumahnya Asih.Selain membantu keluarga Asih untuk tahlilan, dia juga memakmurkan masjid yang berada di kampungnya. Sehingga kegiatan shalat berjamaah yang biasanya dipimpin oleh Abahnya Asih tidak terputus dan sekarang digantikan oleh lelaki yang Asih dibawa dari kota.