Bab 3. Pengakuan Martina
Satu minggu kemudian—Ruang kelas 1.2
Pagi itu suasana kelas seperti pada umumnya sekolah. Anak-anak yang berlalu lalang, menyapu kelas, membersihkan papan tulis, ada juga yang duduk mengobrol di atas meja.
Suasana biasa di kalangan remaja.
Beberapa di antara mereka berkelompok. Ada juga yang suka minder dan memilih diam di pojokan.
Beberapa dari mereka sudah mengenakan seragam putih abu-abu, sedangkan yang sebagian lainnya masih ada yang mengenakan seragam biru dan putih—seragam SLTP.
"Ra, kamu kok masih pakai seragam SMP sih?" tanya Martina setengah mengejek.
"Aku 'kan anaknya orang ndak punya Mar, Yo harus sabar nunggu giliran. Sekarang masih giliran Mbak yu ku yang dijahit bajunya. Baru kemudian aku." Sarah membolak-balikkan buku pelajaran sambil bicara.
"Oh ... anak sederhana toh, ya gak pantes sama Galang berarti!" ketus Martina dengan nada ditekan.
"Aku gak minat," sahut Sarah jutek.
Martina Wulansari, gadis pinggir gunung yang sangat kemayu di kelasnya. Rasa percaya dirinya besar, meski sebenarnya tampangnya pas-pasan.
Ia tidak suka dengan Sarah. Kabarnya Martina begitu mengidolakan Galang Samudera. Bukan karena ia tampan, tapi pemuda itu memang tersohor sebagai pria terganteng di sekolah itu.
*****
Ruang kelas 1.2 perlahan mulai tenang ketika bel berbunyi tanda dimulainya pelajaran pertama. Sarah merapikan bukunya dan bersiap-siap untuk pelajaran, namun pikirannya masih tertuju pada kata-kata Martina tadi.
Di tengah jam pelajaran, Sarah merasakan ada yang memerhatikannya dari belakang. Ia menoleh sejenak dan melihat Galang Samudera menatapnya.
Sarah segera berpaling dan fokus kembali ke buku di depannya, berusaha mengabaikan perasaan risih yang timbul.
Jam istirahat tiba, dan Sarah berjalan menuju kantin sendirian. Ia memilih meja di sudut, berharap bisa menikmati makanan tanpa gangguan.
Namun, tidak lama setelah duduk, sosok Galang muncul dan duduk di seberang meja.
"Hai, Sarah. Boleh aku duduk di sini?" tanya Galang dengan senyuman khasnya.
Sarah hanya mengangguk singkat, berusaha tidak memperlihatkan betapa terganggunya ia. Ia mengaduk-aduk minumannya tanpa banyak bicara.
"Kenapa kamu selalu sendirian?" tanya Galang, mencoba membuka percakapan.
Sarah mengangkat bahu.
"Aku lebih suka sendiri," jawabnya singkat.
Galang tersenyum lebar. "Kamu tahu, aku belum pernah bertemu dengan gadis yang cuek seperti kamu. Biasanya mereka selalu berusaha mendekatiku."
Sarah menghentikan aktivitasnya dan menatap Galang dengan tatapan tajam.
"Aku bukan seperti gadis-gadis lain, Galang. Aku tidak tertarik."
Galang terlihat kaget, namun senyumnya tidak pudar.
"Mungkin itulah yang membuat kamu menarik, Sarah. Kamu berbeda."
Sarah berdiri, mengumpulkan barang-barangnya.
"Aku harus kembali ke kelas," ujarnya datar sebelum berjalan meninggalkan Galang yang masih duduk di meja.
*****
Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah, Sarah berjalan sendirian di lorong sekolah. Galang muncul dari arah berlawanan, mencoba menghalanginya.