Aku menatap kedua novel di tanganku satu per satu. Di tangan sebelah kanan, aku memegang sebuah novel berjudul Stardust dan di tangan kiri Neverwhere. Dua-duanya karya Neil Gaiman. Dari blurb-nya, aku lebih tertarik Stardust. Tapi, mbak Gita bilang Neverwhere lebih bagus. Aduh, aku galau.
“Udah, bawa aja dua-duanya. Lagian, pilih buku bacaan aja bingung kayak pilih jodoh. Dasar, Miss Galau,” kata mbak Gita sambil tertawa, membuyarkan konsentrasiku memilih.
Aku terkekeh. “Satu aja dulu, mbak. Nanti hilang. Makanya aku galau nih mau baca yang mana dulu.”
Mbak Gita menggeleng-gelengkan kepala sambil tetap tersenyum. Ia kembali menekuri berkas-berkas yang ada di hadapannya, sedangkan aku menekuri kedua novel itu.
Beberapa menit kemudian, setelah galau beberapa lama, aku akhirnya memutuskan pilihan untuk meminjam Stardust dari mbak Gita.
“Udah galaunya?” goda mbak Gita.
Aku terbahak. “Udah, aku pinjam ya Stardust-nya.”
“Ambil aja, nggak usah dikembalikan. Aku nggak terlalu suka.”
Aku melotot. “Serius, mbak?”
“Seriuslah.”
“Makasih, mbak!”
“Iya, sama-sama. Eh, Miss Galau, aku tunggu ya laporan operasional bulanannya,” kata mbak Gita sebelum aku keluar.
“Beres, mbak.”
Aku melangkahkan kaki dengan riang keluar dari ruangan mbak Gita ke ruanganku sendiri. Aku memasukkan Stardust ke dalam tas bermerk ternama yang aku tenteng dengan tangan kiri. Aku menyapa siapapun yang berpapasan denganku, office girl, anak-anak divisi lain maupun resepsionis yang sedang mengantarkan berkas ke ruangan HRD. Kuberikan senyumku yang paling tulus untuk mereka. Sesekali, aku mengibaskan rambut hitam legamku yang sudah mulai panjang sehingga terkadang mengganggu.
Itu tadi mbak Gita, Direktur Operasional di PT. Kamaratih, tempat aku bekerja sekarang. Selisih umur yang tidak terlalu jauh, obrolan yang nyambung dan hobi yang sama membuatku cepat akrab dengan mbak Gita. Dia bahkan tidak mau aku panggil ‘bu Gita’. Kalau sudah bicara tentang novel, rasanya bahan pembicaraan tidak akan pernah habis diantara kami. Kebetulan kami berdua sama-sama suka membaca novel di waktu luang. Hobi ini pula yang akhirnya mengantarkanku menjadi salah satu karyawan di PT. Kamaratih sekarang, salah satu pabrik kosmetik terbesar di Indonesia.
Hari itu, aku dijadwalkan untuk wawancara dengan Direktur Operasional PT. Kamaratih. Begitu aku melangkahkan kaki ke dalam ruangannya, aku terpana. Buku-buku berderet rapi di lemari buku belakang kursi mbak Gita. Ia kemudian tertawa.
“Suka baca buku juga?” tanya mbak Gita yang kemudian melirik CV-ku. “Ivo?”
Aku mengangguk bersemangat. “Iya, bu, sangat suka.”
“Wah kita punya hobi yang sama ya. Apa buku terakhir yang kamu baca?”
“The Alchemist-nya Paulo Coelho,” jawabku.
“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it,” kata mbak Gita sambil mengutip salah satu kalimat dari The Alchemist. “Pilihan bagus. Suka sastra?”
“Saya baca semua buku yang bagus, bu. Tidak ada genre spesifik yang saya suka. Kalau ibu?”
“Sama. Saya lagi baca Life of Pi. Sebelumnya Murder on the Orient Express. Agatha Christie. Baca genre yang berbeda-beda bisa lebih membuka wawasan.”
Aku mengangguk bersemangat. Belum bekerja di sini saja aku sudah antusias karena tahu calon atasanku punya hobi yang sama denganku.
Mbak Gita kemudian menutup semua berkas lamaranku. “Udah ya, nggak usah pakai wawancara lagi. Kamu diterima.”
Aku membelalakan mata. “Wah, terima kasih banyak, bu. Akhirnya saya dapat kerja juga.”
Mbak Gita tertawa. “Selamat ya! Satu lagi, khusus kamu nggak usah panggil saya bu kalau lagi berdua. Panggil mbak aja. Beda umur kita nggak jauh kok.”
Aku tersenyum dan mengangguk mendengar permintaan dia kala itu. Maka untuk seterusnya, aku memanggil dia ‘mbak’.
Tok… tok… tok… ketukan pintu ruangan membuyarkan nostalgiaku.
“Bu, ini kopinya,” kata Leila, si office girl. Tadi aku memang sempat minta dibuatkan kopi. Kalau sehari aku nggak dapat asupan kafein, wah bisa-bisa kerjaan nggak beres semua.
“Makasih ya, mbak.”
“Sama-sama, bu. Hmm, bu, saya boleh nggak kalau nanti siang pulang sebentar aja? Anak saya sakit jadi saya…”
“Boleh. Tapi jangan lama-lama ya, nanti kalau ketahuan pak Ari bisa gawat.”