Sepertinya hari normal-normal saja sewaktu aku berangkat kerja tadi pagi. Langit cerah dan biru, sebiru langit Ranu Kumbolo yang dilihat lima sekawan di novel 5 cm. Lalu lintas padat tapi mobilku tetap bisa jalan dengan lancar. Di mobil tadi aku juga masih bisa ikut bernyanyi bersama Justin Bieber, Taylor Swift, The Script dan Raisa.
Tapi sekarang, semua kebalikan dengan yang aku rasakan. Ketika melihat langit, aku merasa langit menggelap, persis seperti ketika saat Lord Voldemort mendatangi Harry Potter. Aku merasa takut, cemas, putus asa persis seperti yang Pi rasakan ketika terapung-apung di tengah Samudra Pasifik bersama seekor harimau Bengal dalam novel Life of Pi.
Aku kaget ketika mobil berhenti di depan rumah 5x12 meter persegi yang aku cicil berdua bersama papa. Sepertinya aku menyetir di bawah alam sadarku. Untung nggak terjadi apa-apa.
Aku segera membuka pintu lalu menghempaskan tubuhku di sofa. Aku menyelonjorkan kedua kakiku di atas meja tamu. Biarin kalau aku dianggap nggak sopan. Itu hal terakhir yang aku pikirkan sekarang. Kupejamkan kedua mataku dan menelusuri kembali kejadian beberapa jam lalu yang nggak mungkin aku lupakan seumur hidup.
***
Beberapa jam yang lalu di PT. Kamaratih…
Aku melangkahkan kakiku dengan ringan seperti biasa. Hari ini aku sempat mampir beli kopi di coffee shop langgananku. Sambil bersenandung, aku memasuki ruangan dan meletakkan kopi yang baru aku minum separuh di meja kerja.
Kring… telepon ruanganku mulai berbunyi. Kadang aku heran, kayaknya si penelepon sakti juga bisa tahu aku sudah di ruangan.
“Manajer Operasional, dengan Ivo bisa dibantu?”
“Ivo,” panggil mbak Gita.
“Ya, mbak?”
Mbak Gita terdiam cukup lama. Aku mengernyit. Ini bukan mbak Gita yang biasanya, yang tidak pernah kehilangan suaranya ketika berbicara denganku. Dan tadi kalau aku tidak salah, suaranya sedikit bergetar? Menangiskah ia?
“Mbak...” panggilku.
“Eh iya. Iv, bisa kamu ke ruanganku sekarang?”
“Oke.”
Kuhabiskan kopiku yang tinggal separuh lalu melangkahkan kaki ke ruangan mbak Gita yang berbeda satu lantai denganku. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, aku segera duduk di depannya.
Tidak terhitung berapa kali aku masuk ke ruangan Direktur Operasional Kamaratih, aku tetap kagum dengan jumlah koleksi buku mbak Gita yang sepertinya makin hari makin banyak.
Mbak Gita berdeham, mengembalikan perhatianku pada perempuan yang usianya tidak terpaut jauh dariku itu. Matanya tidak terlihat sembab, lantas kenapa tadi suaranya bergetar?
“Maaf, mbak. Ada apa?” tanyaku.
Mbak Gita menyodorkan sebuah berkas di hadapanku. Aku membaca dokumen itu dua kali karena yang pertama aku belum paham isinya. Tapi, setelah aku membaca yang kedua kalinya pun aku tetap belum paham.
“Aku nggak ngerti. Ini dokumen apa?” tanyaku.
Mbak Gita menghembuskan napas. “Sudah kuduga ada yang salah. Aku nggak percaya kamu bisa seceroboh itu.”
Dalam hati aku setuju.
“Itu salinan tender PT. Mahaayu yang kita ajukan, Iv. PT. Mahaayu sudah setuju mau buat sheet mask dan body lotion di kita. Nilainya 2 miliar karena mereka ambil dalam jumlah banyak mau diekspor lagi. Tim marketing bilang berkasnya sudah di kamu untuk di tanda tangan. Tapi sampai deadline berkasnya belum kembali ke tim marketing.
“Mahaayu marah. Pemiliknya kebetulan sahabat pak Ari, komplain macam-macam ke pak Ari dan minta ganti rugi. Mahaayu sudah sewa kontainer untuk ekspor dan nggak bisa dibatalkan karena sudah ada kontrak. Sementara barangnya belum ada. Pak Ari juga marah banget sama kamu, Iv.”
Aku melongo.
“Lho, aku nggak pernah terima berkas itu. Ini aja baru lihat salinannya, mbak.”
“Mungkin kamu lupa. Bisa nggak berkas aslinya kamu cari dulu di ruangan?”