GALLENTERA

Adella Kusuma
Chapter #1

Chapter 01

Cowok berkulit putih itu nampak bercahaya di atas podium, mengenakan seragam putih biru dengan jas almamater berwarna navy, lengkap dengan dasi. Bajunya rapi dimasukkan ke dalam celana, sepatu sneakers berwarna putih menambah gagah penampilan Gala siang itu.

Matahari jam sepuluh pagi menghangatkan kota, awan tebal berarak-arakan menutupi sinarnya, membuat siswa yang berkumpul di lapangan tidak kepanasan, meski di atas kepala mereka berdiri tenda yang kokoh. Namun, kapas putih besar di langit itu seperti sengaja menaungi mereka yang saat ini sedang berbahagia dengan kelulusan.

Daun pohon ketapang cendana yang menguning jatuh tertiup angin dengan lembut. Suasana sekolah yang didominasi pohon-pohon rindang syahdu berharu-biru.

Suara gemuruh tepuk tangan bersahutan di udara. Gala Ahmad Syarif, siswa terbaik itu menyelesaikan pidato sepatah dua katanya di hadapan seluruh orang tua dan murid SMPIT Cahaya Insani Jakarta angkatan kedua puluh tiga. Cowok dengan segudang kelebihan tersebut sukses mencuri banyak perhatian.

Selain pintar, Gala juga memiliki wajah menawan, tubuhnya tinggi dan badannya ramping, tidak kurus juga tidak gemuk, terlahir dari keluarga kaya dan harmonis.

Cowok dengan belahan rambut sebelah kiri itu turun dari podium yang langsung disambut pelukan hangat dari sahabat-sahabatnya. 26 Mei 2018, cowok itu dinyatakan lulus dari SMP dengan nilai terbaiknya.

Acara kelulusan di sekolah itu mengandung haru, tawa dan kebahagiaan. Mereka dinyatakan lulus seratus persen. Gala menepi dari kerumunan para siswa, berjalan ke arah Ustaz Dimas.

“Anak Ustaz yang satu ini memang hebat,” ujar kepala sekolah menyambut kehadirannya dengan senyum yang terpancar.

“Luar biasa kamu Gala. Nilai ujian nasionalmu mengantarkan sekolah kita masuk dalam peringkat lima belas besar nilai UN tertinggi sekota Jakarta Gal! Makasih ya, Nak, atas kerja kerasmu selama ini. Ustaz bangga sama kamu Gala.” Kepala sekolah menepuk pundak Gala, memberi apresiasi tulus.

“Sama-sama, Ustaz. Gala juga berterima kasih selama ini Ustaz dan semua Ustaz-Ustazah telah mendidik Gala, membimbing Gala sampai Gala bisa di titik ini. Mohon doanya selalu Ustaz, semoga Gala dimudahkan mencapai cita-cita Gala,” balas cowok itu.

“Ustaz akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu Gala, kamu masih ingin jadi arsitekkan?” Gala mengangguk kuat.

“Semoga cita-citamu tercapai, Nak. Pesan Ustaz, jadilah kamu seperti tebu, tumbuhlah dengan akar yang kuat dan rasa manis yang memberi kebahagiaan bagi orang-orang, jangan hidup seperti toge, mudah tumbuh, tetapi mudah rapuh juga.” Ustaz Dimas memberi petuah.

Kepala sekolah itu memang terkenal dengan sikapnya yang ramah dan bijak, laki-laki lanjut usia itu menatap Gala lekat, seperti sedang mentrasfer atmosfer baik pada Gala. Kerutan di bawah matanya terlihat jelas guratannya, juga rambutnya yang memutih dibalik kopiah hitam yang dipakainya.

Gala tersenyum mantap. “Siap, Ustaz. Gala akan ingat pesan Ustaz Dimas hari ini.”

Kepala sekolah tersenyum dan berlalu, Gala menatap punggung gurunya itu, dadanya menggebu diisi semangat yang menyala-nyala.

“Selamat nak, Gala.” Sebuah suara menyadarkannya dari belakang. Cowok itu langsung mengarahkan pandangannya ke sana.

“Ustaz Ridwan!”

Mereka saling berpelukan, tinggi keduanya sudah hampir sama, berbeda dengan tiga tahun lalu waktu Gala baru memasuki sekolah itu. Tiga tahun ini Gala tumbuh dengan cepat, fisiknya, juga pemikirannya.

“Ustaz, terima kasih atas bimbingan Ustaz selama ini,” ujar Gala dengan suara tercekat. Kini seberkas air bening telah memenuhi rongga matanya dan bersiap akan luruh.

“Jangan lupakan hafalan-hafalan yang sudah kamu jaga selama ini ya, Nak. Di mana pun Gala berada, tetaplah jadi manusia yang rendah hati.”

Rangkulan itu semakin erat, laki-laki muda berusia dua puluh delapan tahun yang akrab disapa Ustaz Ridwan memang sangat dekat dengan siswa-siswanya. Ustaz Ridwan adalah guru tahfidz, pesonanya tak kalah memikat dari Gala, bedanya, beliau sudah menghafal Quran hingga tuntas, sedangkan Gala baru memasuki lima juz.

Gala menyeka ujung matanya dengan jempol dan jari telunjuk setelah dekapan itu terlepas. Remaja empat belas tahun tersebut mencium punggung tangan Ustaz Ridwan takzim.

“Mohon doanya selalu Ustaz.”

“Insyaallah, doa Ustaz selalu untuk Gala.”

“Syukron Ustaz.”

Seuntai senyum menghiasi wajah Gala dipadukan dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Saya pamit dulu, Ustaz. Mau nyari orang tua saya dulu. Assalamu’alaikum.”

Pundak Gala ditepuk dua kali oleh Ustaz Ridwan, seolah sebagai semangat untuk Gala.

“Iya, silakan Gala. Wa’alaikumsalam.”

Ustaz Ridwan dan Gala sama-sama meninggalkan tempatnya. Beberapa langkah berjalan, Gala berhenti sejenak. Dia melihat ke sekeliling, mencari keberadaan tempat duduk keluarganya.

“Arsyila,” gumamnya setelah melihat sang adik melambai-lambaikan tangan. Rasa sedih yang ada di hati Gala hilang seketika setelah melihat adiknya yang begitu ceria.

Gala melanjutkan langkahnya hingga menuju orang tuanya berada. Gadis kecil kesayangan Gala langsung menghambur kepelukan sang kakak.

“Selamat Gala sayang.” Devi–ibu Gala–mengusap rambut Gala dan ikut memeluknya sejenak. Kening Gala dikecup lembut oleh Devi.

Sang ayah mengacak-acak rambut Gala yang rapi. “Kebanggaan Ayah luar biasa!” ujar sang ayah dengan senyumannya yang begitu lebar.

“Terima kasih Ayah, Bunda. Gala bisa karena berkat Ayah dan Bunda.”

Gala mencium pipi kedua orang tuanya secara bergantian. Dia sangat menyayangi keluarganya, karena itulah yang menjadi pacuan dirinya semangat untuk belajar dan bekerja keras.

“Oh, iya kita foto dulu, yuk.” Devi segera mengambil ponselnya di dalam tas.

“Hm, kebiasaan ibu-ibu pasti begini, deh,” komentar Syarif–ayah Gala–yang mengundang tawa Gala dan juga Devi.

Sambil memposisikan kamera, Devi berucap, “Mau pamer kalau punya anak hebat kayak Gala.”

Gala sambil menggendong adiknya. Syarif merapatkan dirinya dengan Devi. Sebelum Devi menekan tombolnya, mereka memposisikan gaya yang tepat agar terlihat bagus di kamera.

Lihat selengkapnya