Liburan telah usai, di hari ketiga Gala dan rombongan pergi ke Trans Studio Bandang, di sana Gala dan Syarif mencoba beberapa wahana, dari yang membuat jantung hampir terlonjak keluar, mual dan pusing, hingga yang menyenangkan seperti melihat dunia laut.
Selain wahana bermain, mereka juga menjajali wisata kuliner, mencoba banyak makanan yang terkenal ala kota kembang itu. Liburan yang menyenangkan, Gala dan Arsyila menunjukkan kedekatan yang membuat hati kedua orang tuanya tentram.
Pukul enam sore saat langit menampakkan jingganya, Pajero hitam itu menepi di alun-alun Kota Bandung, sejenak pulang ke pelukan Ilahi melaksanakan kewajiban yang lima. Lantunan azan membumbung di angkasa, para pekerja dan pengendara lain juga meminggir menjemput seruan muazin.
Usai menunaikan salat Magrib, Pajero itu kembali melaju meninggalkan alun-alun. Lampu-lampu di jalan sudah mulai dinyalakan, membantu rembulan menerangi jalanan Kota Bandung. Syarif mengemudikan mobilnya dengan sangat mahir, beberapa mobil di depannya berhasil ia salip.
“Ayah kita pelan-pelan saja,” gumam Devi pada Syarif.
Syarif tersenyum simpul. “Hehe … siap, Bun.” Pajero hitam itu terus berpacu membelah jalan dengan kecepatan yang menurun sedikit. Ya, hanya sedikit.
Lain dengan Syarif yang sibuk mengemudi, Gala terlihat begitu menikmati pemandangan di luar jendela. Wajahnya ceria, guratan bahagia tergambar dengan jelas. Sudah puas menoleh ke arah luar kaca gelap itu, kini Gala menyandarkan punggungnya pada kursi. Sandaran kursinya dia rendahkan, agar ia dapat duduk bersandar lebih nyaman.
Sedangkan Arsyila di samping Gala sedang sibuk dengan mainan baru yang tadi dibeli di alun-alun.
Syarif menoleh sekilas pada Devi. “Mau makan nanti apa sekarang?” tanya Syarif.
Devi tampak berpikir sejenak. “Bunda sih nanti, tapi kalo Ayah sama anak-anak sudah lapar, kita makan sekarang nggak apa-apa,” balas Devi.
Gala yang berada di belakang langsung menyahut, “Nanti saja, Yah. Belum lapar, masih ada jajanan juga.”
Syarif manggut-manggut. “Oke, robot kecil.”
Jalan yang lumayan ramai membuat Syarif tidak dapat melajukan mobilnya dengan cepat lagi. Namun, bagi mereka itu hal yang biasa, karena dibandingkan dengan Jakarta yang lebih macet daripada Bandung ini hanya remahan-remahannya saja.
“Senang tidak untuk liburannya ini?” Syarif melirik kedua anaknya melalui rear-vision mirror yang letaknya dekat dengannya.
“Eneng anget, Yah.” Arsyila menjawab dengan suara imutnya.
Disusul dengan jawaban Gala, “Iya seneng, Yah. Makasih ya Ayah Bunda udah ngajak kita liburan.”
“Sama-sama,” jawab Devi dan Syarif bersamaan.
Untuk menghilangkan hening di dalam mobil, Syarif menyalakan lagu ala-ala sembilan puluhan kesukaannya di zaman muda dulu.
Gala yang sudah hafal langsung berceletuk, “Nggak heran lagi, lagu kesukaan Ayah.” Perkataan Gala dibalas oleh tawa kecil dari Devi dan Syarif.