Setengah tujuh pagi. Gala melangkah ke balkon tepat di belakang kamarnya. Dalam samarnya, bulan terlihat dalam dekapan cakrawala, seperti enggan beranjak dari sana setelah dua belas jam menemani bumi Jakarta dan sekitar.
Gala menatap kosong ke depan, pikirannya masih berkecamuk dengan obrolan semalam. Meninggalkan riuhnya Jakarta, tempat lahir dan tumbuhnya selama lima belas tahun, teman-temannya, guru-gurunya, bagaimana dengan pencapaiannya selama ini?
Piagam penghargaan dan medali-medali prestasi di kamarnya?
Remaja itu memang belum memilih SMA lanjutan, tetapi baginya Jakarta memang tempat yang cocok untuk menunjang karirnya menjadi arsitek besar di masa depan.
Terbesit di kepalanya untuk menetap sendiri di Jakarta, tetapi wajah Arsyila kesayangannya muncul dan ia tak siap berpisah dengan sang adik, bunda dan ayahnya, Gala masih terlalu kecil untuk bisa survive di ibu kota tanpa sanak saudara.
Gala bergeming dalam gelisahnya. Tatapannya kosong menghadap lurus ke depan.
Di lain sisi, Devi yang beranjak dari dapur hendak memanggil putranya sarapan tercekat di daun pintu kamar Gala. Wanita paruh baya itu melihat jagoannya memojok di belakang, itu bukan kebiasaan Gala, bundanya tahu betul karakter sang anak dan apa yang merisaukannya saat ini.
Gala dengan segudang prestasi akan duduk membaca apapun di atas tempat tidur di pagi hari. Devi bimbang harus melanjutkan langkah mendekati putranya atau tidak, dan pada akhirnya Devi berbalik lagi membiarkan Gala seorang diri.
***
Suara denting sendok dan piring terdengar dari ruang tengah rumah Gala. Keluarga itu tengah makan siang, Syarif dan Gala masih dibalut baju koko setelah jumatan.
Tiba-tiba dering suara ponsel Syarif memecah hening.
“Halo, Assalamualaikum,” sapa Syarif pada lawan bicaranya.
“Oh, iya benar, dengan saya sendiri.”
“Boleh-boleh, baik, Mas. Saya tunggu di rumah, nanti saya kirimkan alamatnya, ya.”
“Baik-baik, waalaikumsalam warahmatullah ....” Sambungan terputus.
Devi menatap suaminya, mengisyaratkan bertanya dengan bahasa tubuh. Telepon dari siapa?
“Mas Galang, katanya mau lihat-lihat rumah, Bun,” kata Syarif mengerti arti lirikan istrinya.
“Kalau rumah ini jadi terjual, pekan depan kita mungkin sudah harus berangkat.” Syarif mengoceh dengan makanan yang masih dikunyah.
Pasokan oksigen serasa hilang dari atmosfer di atas kepala Gala. Sesak. Kenapa secepat itu?
Pergerakan Gala mengunyah menjadi lambat. Nafsu makannya hilang seketika. Kesedihan hati Gala juga menjadi bertambah. Cowok itu memilih diam dan mendengarkan pembicaraan orang tuanya.
“Kapan Mas Galang mau lihatnya, Yah?” Devi bertanya disela-sela kunyahannya.
“Sore nanti.” Jawaban Syarif diberi anggukan kepala oleh Devi tanda mengerti.
Setelahnya mereka melanjutkan makan tanpa ada obrolan apapun hingga nasi dan lauk tandas di piring.
Biasanya Gala akan beranjak dari meja makan paling terakhir, kini dirinyalah yang pertama kali bangkit dari tempat duduk. Suara gesekan kursi dan lantai yang berbunyi menyita perhatian Syarif dan Devi. Gala ditatap lekat oleh kedua orang tuanya. Namun, Gala mengabaikan, rasa sedih di dalam hatinya begitu mendominasi.
“Gala mau ke kamar mandi,” alibinya agar dapat segera meninggalkan ruang makan.
Syarif menjawab, “Iya.”
Tidak langsung keluar dari ruang tengah, Gala meletakkan terlebih dahulu piring yang tadi ia pakai untuk makan. Walau tidak ia cuci, setidaknya sedikit meringankan tugas bundanya.
Setelah meletakkan piring di wastafel, Gala keluar ruangan tanpa mengucapkan apapun lagi. Sikap Gala yang seperti itu sudah bisa dimengerti oleh Syarif dan Devi. Syarif mengembuskan napas dalam, membiarkan Gala berlarut dalam kesedihannya terlebih dahulu.
“Nanti Ayah yang ngomong sama Gala.” Syarif langsung angkat bicara, karena sudah hafal dengan sikap Gala jika mood-nya sedang buruk.
Devi mengangguk. “Iya pelan-pelan aja, Yah. Gala juga pasti butuh waktu. Semoga dia bisa menerima keputusan Ayah.” Devi menguatkan suaminya.
***
Gala mengunci pintu kamarnya, kemudian ia berjalan ke kamar mandi. Ditatapnya wajah yang terpantul dari cermin. Mata Gala sudah memerah, genangan air mata juga sudah tidak dapat dibendung lagi, akhirnya jatuh membasahi pipinya. Namun, Gala langsung mengusapnya dan mencuci muka berulang kali.
Gala memvalidasi bahwa dirinya terlalu lemah untuk menghadapi hal sepele. Dengan muka serta rambut yang basah, Gala kembali menatap wajah ke cermin.
“Gue lemah banget, sih. Gini doang nangis!” Setelah perkataannya itu, Gala tertawa hambar. Ia menertawakan dirinya sendiri. “Lebay,” lanjutnya sambil berjalan keluar dari kamar mandi.
Gala mengambil ponsel dan duduk di ujung kasur. Ia kemudian membuka aplikasi hijau dan mancari nama Kenan. Ditulisnya pesan untuk Kenan.