GALLENTERA

Adella Kusuma
Chapter #5

Chapter 05

Ada hari di mana manusia kehilangan semangat. Menyembunyikan luka yang sejenak terasa pilu mengiris kalbu. 5 Juni 2018, gerimis kecil di luar menemani Gala menurunkan piagam-piagam penghargaannya dari dinding bercat putih itu. Sayup-sayup suara cicitan burung terdengar di atas pagar balkon, mungkin sedang berteduh. Entahlah.

Cowok itu tak mengindahkan. Tangannya berpacu dengan waktu. Pukul sebelas siang penerbangan Cengkareng ke Palu, dia harus bersiap-siap. Baju di koper sudah rampung dari semalam dibantu Devi, hanya satu koper pakaian sehari-hari milik Gala, sisanya akan menyusul dikirim ke sana.

Bundanya sudah memberi alternatif lain untuk penghargaannya, tetapi Gala tetap keukeuh membawanya di atas kabin, takut rusak katanya. Syarif dan Devi memaklumi tanpa ingin memaksakan, melihat Gala yang mengalah untuk pindah sudah membuat keduanya sujud syukur.

Jumat sore Mas Galang datang bersama istrinya, setelah melihat-lihat rumah Gala, mereka langsung menemui titik mufakat. Selanjutnya diurus oleh istri Mas Galang yang kebetulan seorang notaris.

Begitupun dengan penjualan mobil, semua berlangsung lebih mudah dan lancar. Syarif pun cukup terkejut karena kepindahan mereka ternyata tak serumit itu. Mungkin berkat doa nenek Gala di sana. Demi bakti kepada sang bunda, Allah pasti berikan jalan.

Dengan mengucap nama Allah, Syarif mantap dengan keputusannya.

Semalam Gala dan teman-temannya mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan di restaurant yang dekat dari rumah Gala, sekitar satu kilo meter, Gala baru pulang jam sebelas malam, kelelahan dan mengantuk sehingga piagam-piagam itu baru pagi ini dia urus.

Gala mulai membuka hati setelah diajak berbicara dua mata oleh ayahnya. Devi dan Kenan juga turut andil menasihatinya.

Lentera: Fii amanillah, Gal. Semoga semua selamat sampai tujuan. Salam untuk nenek di kampung ya. Tahun depan gue baru bisa pulang, sampai jumpa di Palu adik gue yang nyebelin.

Sebuah pesan masuk dari Lentera di aplikasi hijau.

“Ye, nyebelin lo!” celoteh Gala yang ditujukan ke ponselnya.

Cowok itu melempar benda pipih tersebut ke atas kasur, meraih handuk dan berjalan ke arah kamar mandi.

Pukul sembilan, mereka sudah selesai menyantap sarapan, Devi memesan lewat ­go-food makanan-makanan kesukaan teman-teman Gala yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Gala dan teman-temannya saling berpelukan, perpisahan, entah kapan lagi akan bertemu.

“Jangan lupa ngabarin kalau udah sampai, liburan nanti lo harus balik ke sini, tidur di rumah gue pokoknya,” paksa Kenan, mata cowok itu memerah.

Tenggorokan Gala mengeras, mati-matian menahan air mata agar tidak keluar dari kelenjarnya. Malu rasanya dilihat teman-teman cowoknya. Mantan ketua OSIS nangis, payah sekali pikir Gala. Padahal, tidak apa-apa untuk terlihat tidak baik-baik saja.

Kenan dan yang lain tidak ikut mengantar, selain jauh ke bandara, hari ini mereka juga berencana mengunjungi SMA lanjutan. Gala sedikit iri, melihat teman-temannya bisa memilih sekolah dengan banyak pilihan.

Aarrgghh!

Gala menepis perasaan buruk itu. Bukankah dia juga harus senang ya kalau teman-temannya sukses dengan pilihan mereka masing-masing?

Setelah melepas pesan satu sama lain, pajero hitam itu keluar dari pekarangan, di antar oleh sahabat ayah Gala yang membeli mobil tersebut. Beberapa tetangga keluar di depan pagar sekadar untuk melambaikan tangan salam perpisahan.

Jilbab hitam yang dikenakan Devi sudah bersimbah air mata, untunglah warnanya gelap, sehingga tidak begitu kentara basahnya. Puluhan tahun lebih tinggal di perumahan itu, tentulah pukulan yang telak bagi ibu tiga anak tersebut ketika harus meninggalkan semua kenangannya di sana.

Lihat selengkapnya