GALLENTERA

Adella Kusuma
Chapter #7

Chapter 07

Gala mengamati dirinya dari pantulan cermin. Baju koko dan juga sarung putih sudah terpakai rapi di tubuhnya. Pagi ini, pertama kalinya ia akan berangkat salat subuh ke masjid dengan ayah serta pamannya. Cowok itu sedikit kedinginan meskipun semalam tidur tanpa AC.

Gala menjatuhkan bahunya lesu, ia mengembuskan napas panjang. Tidak bisa dibohongi, bahwa kesedihannya masih ada. Namun, Gala harus segera berdamai dengan keadaan, berdamai dengan dirinya sendiri.

“Gala, ayo berangkat,” seru Syarif menghampiri Gala di dalam kamar. Gala menoleh pada Syarif, ia pun mengangguk. Dari belakang Syarif, Gala mengikutinya hingga keluar rumah.

“Kita jalan saja, ya. Deket, kok,” titah Syarif yang kemudian merangkul pundak Gala.

“Iya,” jawab Gala singkat dengan kepala mengangguk.

“Ayo, Dav. Kita berangkat.”

Syarif, Gala dan Davin berangkat menuju masjid terdekat dengan berjalan kaki. Syarif dan Davin sibuk berbincang berdua, sedangkan Gala memilih diam dan asyik sendiri dengan pikirannya. Langit masih gelap, bulan memancarkan keindahannya di atas sana. Sesekali Gala menempelkan kedua telapak tangannya dan membuat gerakan yang menghasilkan kehangatan.

Cowok itu menghirup udara dalam-dalam, hingga suhu dingin masuk dalam rongga hidungnya, ia teringat akan udara segar dan bersih di Kota Bandung. Sepuluh menit berjalan akhirnya mereka sampai pada masjid sederhana. Di depan teras sudah banyak sepasang sandal jepit yang tergelak tidak rapi, juga tidak berserakan.

Cowok itu melepas alas kakinya, membuat telapan kaki cowok itu merasakan dinginnya ubin masjid subuh hari. Langkah kakinya terus terayun memasuki daun pintu.

“Assalamualaikum.” Gala memasuki bangunan sederhana itu sembari membaca doa masuk masjid.

Azan sementara dikumandangkan, seorang pemuda akhir tiga puluhan berdiri di depan mimbar dengar kedua tangan naik di samping telinganya. Suaranya indah, porsi yang pas melengkapi syahdunya subuh ini.

Mereka salat sunnah dua rakaat sebelum subuh, lalu dilanjutkan dengan salat berjamaah. Setelah selesai salat, mereka bertiga tidak langsung pulang, Davin memperkenalkan keduanya pada jamaah yang ada di sana.

Mereka saling bersalaman dan memberitahukan nama juga alamat. Beberapa warga ramah mengundang mereka bertamu ke rumah jika ada waktu. Tawaran itu disambut santun oleh Syarif dan Gala. Meski hanya berbasa-basi, tetapi mereka senang karena kepindahan mereka disambut baik oleh warga sekitar.

Gala terkejut ketika ada anak perempuan usia dua tahun memeluk sarungnya. Gadis kecil berwajah bulat dibalut dengan mukenah biru bergambar Tayo—bis kecil yang ramah—mendekapnya erat.

“Papa ...,” ujar anak tersebut.

“Eh, dia bukan papa,” balas anak kecil lain yang mengejarnya. Gadis itu melepaskan pelukan adiknya dan meminta maaf pada Gala.

“Papa, papa ….” Baduta itu sibuk meracau pada Gala.

Gala tersenyum hangat dan mencubit lembut pipi bulat si kecil yang kini sudah dalam gendongan kakaknya. Dia teringat Arsyila di rumah. Buru-buru kakaknya meminta maaf ulang dan melangkah pergi dari kumpulan yang didominasi bapak-bapak tersebut. Gala menggaruk kepalanya yang tak gatal, cowok itu salah tingkah.

Subuh pertamanya dan sudah dipanggil papa oleh seorang anak kecil. Belum juga lulus SMA, apakah dia terlihat setua itu? Gala bertanya dalam hati. Tetapi kejadian random itu membuatnya senang, malu sekaligus tersipu.

Syarif tersenyum geli, menutupi wajah bagian bawahnya dengan tangan, merasa lucu melihat kejadian kecil yang menimpa anak keduanya subuh ini.

***

Lihat selengkapnya