GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #108

S3. Zat Ilahi

Pura, adalah tempat ibadah agama Hindu yang menjadi salah satu dari lima agama langit saat manusia hidup di Swargaloka. Pura sendiri terdiri dari tiga bagian mengikuti konsep trimandala yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya.

Bagian Nista mandala, merupakan zona terluar pura yang digunakan sebagai tempat persiapan upacara keagamaan. Kemudian, ada Madya mandala sebagai zona tengah tempat peribadahan dan Utama mandala sebagai zona paling suci, terdapat arca dewa trimurti. Dan cahaya obor dari batang bambu menjadi penerang di sekitar pura.

Kini Galigo telah berdiri menghadap seorang pandhita di depan arca Trimurti. “Saya Andi Galigo datang kemari untuk berdoa kepada Tuhan, dan mohon bimbingannya.”

“Saya Sabdo Palon, penjaga pura ini sebagai seorang pandhita. Apa yang bisa saya bantu anak muda?” ucap Pandhita yang mengenakan pakaian serba putih.

“Ajarilah aku arti dalam kesadaran sejati!” jawab Galigo.

Kemudian, sang Pandhita membimbing Galigo dalam mengenal Tuhan. Di mana-mana ada Tuhan dan Tuhan ada di mana-mana. Ada di gunung, ada di lautan, ada di sawah, dan ada di hutan. Sang Pandhita menyebutkan banyak nama Dewa dan Dewi sebagai perwujudan dari Tuhan yang tunggal, namun ada tiga Dewa yang diutamankan yang disebut sebagai Trimurti, yaitu:

1. Dewa Brahma, sebagai manifestasi Tuhan sebagai pencipta alam semesta;

2. Dewa Wisnu, sebagai manifestasi Tuhan yang memelihara alam semesta dan segala isinya; dan

3. Dewa Siwa, sebagai manifestasi Tuhan yang akan meleburkan semua ciptaan yang sudah usang pada waktunya.

Kehidupan ini pula bagian dari perwujudan Tuhan, manusia tercipta akibat percikan cahaya Tuhan (Brahman) yang melalui terciptanya Atma atau ruh. Karena itu, sebagai manusia harus bisa menyadarinya untuk menentukan nasibnya sendiri dari keterikatan dosa-dosa dan buah karmanya. Ketika manusia mampu terlepas dari hukum karma, maka ia akan memperoleh kesadaran purna atau kesadaran mutlak, bahwa sesungguhnya seluruh pemikiran, ucapan dan perbuatan adalah aktivitas pembuatan takdir itu sendiri. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh manusia di masa hidupnya, tidak akan tersesat jika menyadari hal tersebut dan mampu merasakan keberadaan Tuhan yang tunggal. Hingga tercapailah tujuan yang sejati yaitu moksa dalam perwujudan Sang Hyang Widhi.

Galigo pun menyadari dosa-dosanya dan berharap Tuhan memaafkan. Air mata pun berlinang saat dirinya berdoa menghadap maha dewa. “Bimbinglah diri ini untuk menemukan jalan hidup yang sejati agar memperoleh kesadaran yang sempurna.”

“Wahai anak muda, ketahuilah bahwa takdir telah menuntunmu dan saya beri restu agar perjalananmu menemukan kesadaran yang sempurna.” Pandhita Sabdo Palon memberikan Galigo sebuah kalung dengan simbol Swastika. “Ini akan mengingatkanmu dalam menjalankan catur dharma yang patat didharmakan.”

***

Boe yang berada di dalam vihara mendapatkan bimbingan dari sang biksu. Vihara sendiri merupakan tempat ibadah dari agama langit yang menyembah pada sang Budha. Terlihat sebuah Rupang Budha yang berada di atas teratai suci yang megah dengan penerang lampion yang tergantung di dalam vihara.

Di depan rupang Budha, Boe duduk berhadapan dengan sang biksu. “Maaf jika kehadiran saya telah mengganggu meditasi biksu di sini,” ucap Boe canggung. “Perkanalkan, saya Boe Lare.”

Sang biksu tersenyum. “Tenangkanlah dirimu anakku, lama aku Darmagandhul sebagai biksu menunggumu di sini.”

Biksu dihadapan Boe ini mengenakan jubah kasaya berwarna oranye dengan kepala plotos dan duduk bersila tanpa alas kaki. Sangat sederhana dan ramah dalam tutur kata penuh senyuman.

“Benarkah itu?” Boe tahu bahwa para Yogi di kuil suci bukanlah manusia biasa. “Saya bahagia sekali bisa bertemu biksu di sini, sebab itu mohon bimbinglah saya di vihara ini.”

“Sekarang tariklah nafasmu dan tenangkan pikiranmu!”

Boe mengikuti perintah sang biksu dan perlahan dirinya mulai tenang.

“Sekarang apa yang kau pikirkan anakku?”

Lihat selengkapnya