Sinar matahari siang menerangi kota Loloda yang kini porak-poranda akibat serangan Batti. Rumah-rumah penduduk sebagian di dakat pesisir rata dengan tanah. Selain itu, menara kembar Ternate dan Tidore mengalami kecondogan meskipun tidak runtuh.
Penduduk dengan dibantu oleh prajurit negeri Cakra membersihkan kota yang berserakan. Butuh waktu cukup lama untuk membangun kembali kota Loloda dari peristiwa yang telah terjadi. Tapi, masyarakat masih bersyukur sebab tidak banyak korban jiwa dan tahu bahwa iblis Batti telah lenyap dari dunia ini.
Tidak akan ada lagi teror menakutkan suara aneh yang berasal pulau Seram mengenai Batti, semua telah melihat siapa Batti yang sebenarnya dan semua tahu kini Batti tidak akan lagi bersuara di negeri Cakra.
Di dalam istana, Cakradev mengumpulkan para jenderal juga tamunya yang telah membantu dalam peristiwa buruk menimpa negeri kecil ini. “Beta ucapkan banyak terima kasih dan duka cita kepada pahlawan yang gugur, semoga dengan peristiwa ini kita semua mendapatkan pelajaran meskipun negeri kita aman dari ancaman negeri lain, tapi ancaman yang sesungguhnya akan tetap ada. Kita harus terus memperkuat diri dan menjaga negeri ini.”
“SIAP.” Para Jenderal memberikan hormat.
Kemudian, Cakradev membuat pengumuman di seluruh negeri kepada tukang kayu untuk membangun kembali kota Loloda yang hancur. Berdatangan tukang-tukang kayu terbaik membangun rumah-rumah penduduk yang rusak akibat serangan iblis.
Pembangunan pun dilakukan secara serentak, dan sementara itu warga yang rumahnya hancur mengungsi di alun-alun kota dengan didirikannya tenda-tenda pengungsian. Tidak hanya di sana, warga kelas atas pun bisa mengungsi di hutan-hutan pinus, termasuk keluarga kecil dari Minangkabau.
Terlihat, Kiliran Jao dengan istrinya yang tengah hamil muda sedang memasak di dapur pengungsian. “Maafkan ambo sudah membuatmu ikut susah dan jauh dari orang tua,” kata Kiliran Jao.
“Tak mengapa, asalkan kau selalu di sisiku,” balas putri Tantejo, “iya kan bayi kecil,” tambahnya sambil membelai perutnya yang hamil.
Segera Kiliran Jao memeluk istrinya sambil mencoba merasakan buah hatinya dalam kandungan. “Ayah pastikan, kau akan lahir dan melihat dunia ini dalam kedamaian nak.”
“Terima kasih.” Putri Tantejo membelai rambut hijau Kiliran Jao.
Tiba-tiba saja terdengar suara Sandanu menyapa. “Wah-wah-wah! Biarpun dalam keadaan seperti ini, buah hati selalu memberikan suasana yang mendamaikan.”