Beberapa hari rombongan Isogi telah menembus keramaian tanah Waigeo. Mereka pun melihat kemegahan keraton Misool, tempat kediaman ketua suku Waigeo yang dibangun di atas pulau karang dengan arsitektur rumah demonli yang bertingkat dan berkilauan perak. Dan tidak ada satu pun kecuali keraton tersebut yang dibangun di pulau karang.
Kali ini, mereka tidak memiliki hubungan dengan ketua suku hingga mereka pun tidak perlu berkunjung ke keraton Misool. Tempat yang akan mereka tuju adalah penyewaan payau di dekat pesisir. Namun saat mereka sampai di tujuan, apa yang mereka inginkan tidak bisa segera didapatkan.
“Maafkan sa,” ucap pemilik penyewaan payau. “Saat ini pemberangkatan keluar tanah Waigeo tra bisa jalan.”
Terlihat payau di sana masih banyak terikat di penangkaran. Binatang berjenis kura-kura ini cukup besar dengan dibuatkan keranjang penumpang yang berbentuk lingkaran dan bisa membawa penumpang kurang dari sepuluh orang.
“Kenapa tra bisa, kan ada masih banyak payau?” tanya Isogi yang sebelumnya telah melakukan penawaran.
“Betul, sa pu ada berapa ekor payau, tapi upacara samsom kan dimulai besok dan malam nanti persiapannya. Jadi, seluruh tanah Waigeo ditutup.”
“Upacara Samsom itu apa?” tanya Sandanu.
Pemilik penyewaan payau pun menjelaskan bahwa upacara samsom adalah ritual yang akan diikuti oleh semua penduduk tanah Waigeo dengan menutup seluruh akses masuk ke tanah Waigeo, sehingga semua orang dilarang keluar tanah Waigeo sebelum ritual selesai. Upacara ritual tersebut merupakan upacara bakti kepada penjaga laut yang dipercaya menjaga kesuburan kepada mahluk hidup di laut sekaligus pelindung tanah Waigeo.
Seorang Mirinyo adalah petugas upacara ritual tersebut yang akan membacakan doa di telaga bintang, tepat di belakang keraton Misool selama upacara berlangsung saat matahari terbit hingga tenggelam.
“Upacara ritual tersebut kan besok, kenapa sekarang tidak bisa?” ucap Galigo.
“Sebab para Mirinyo kan ada buat gasamsom di keliling tanah Waigeo sebagai tanda larangan, jika sa melanggar tradisi ini maka bencana bisa ada terjadi.” Pemilik penyewaan payau yang ramah pun memberikan penawaran. “Baiknya kamorang semalam lagi menginap dan besok malam sa antar kamorang ke tanah Arfak.”
“Apa boleh buat, aku juga penasaran dengan upacara samsom,” kata Sandanu santai.
“Aku setuju dengan ka Danu,” sahut Boe. “Kita juga bisa mengikuti perayaan yang hanya setahun sekali dan kita beruntung datang di waktu yang tepat.”
“Kalau begitu, apa ada penginapan terdekat di pelabuhan ini?” tanya Mutia
Pemilik penyewa payau pun segera menanggapi. “Rekan sa pu banyak rumah sewa, bisa sa antar kamorang lau mao.”
“Bagaimana Isogi?” Galigo meminta Isogi yang memutuskan.
“Trapapa,” jawab Isogi. “Tapi paman, apa boleh kitorang dapatkan potongan untuk penginapannya?”
“Baiklah, ko su bayar setengah tuk perjalanan payau.” Pemilik penyewaan payau mengajak mereka menemui rekannya.
Kali ini, penginapan yang mereka dapat ada di belakang pulau karang dan tepat di garis perbatasan. Saat para Mirinyo membacakan mantra gasamsom, sebuah tanda larangan tercipta di sekitar tanah Waigeo. Mereka pun bisa menikmati tanda langan yang berbentuk air mancur saling silang.
Di malam hari, festival malam samsom pun berlangsung meriah saat semua penduduk menerbangkan ribuan lampion. Sepanjang jalan besar, orang-orang menikmati jajanan malam yang dibagikan secara gratis. Semua penduduk menyediakan hal itu untuk saling berbagi. Mereka semua mendapat makan malam gratis.