Setelah acara sarapan pagi di ruang tamu keraton, Isogi dan teman-temannya menghadap ketua suku tanah Arfak di singgasana yang terhormati. Letak singgasana tersebut ada di bagian tengah keraton Sailolof yang ada dalam satu bangunan rumah lgkojey yang di dalamnya tumbuh pohon rawa dengan dahan-dahannya menjadi peneduh udara terbuka.
Di bagian batang utama pohon tersebut, terukir pahatan sebagai tempat duduk singgasana ketua suku dan tamu-tamu kehormatannya duduk di cabang batang yang mengarah dari sudut singgasana. Lantai di ruangan ini dilapisi permadani anyaman rotan yang diberi percikan emas.
“Hormat kami untuk ketua suku tanah Arfak!” Isogi beserta teman-temannya membungkukkan badan.
Ketua suku tanah Arfak mengulurkan tangannya sebagai tanda penerimaan salam dari tamunya sekaligus mempersilakan mereka duduk di tempat yang tersedia. Kemudian, juru dapur pun datang membawakan jamuan minuman dan buah-buahan.
Di tempat singgasana hijau ini, bisa dilihat tanaman-tanaman rambat yang berbunga di antara batang-batang pohon rawa. Puluhan kupu-kupu pun terbang bebas menghisap aroma madu dari bunga ke bunga dan sinar matahari hangat masuk di antara dedaunan.
Di sekeliling pun ada beberapa pengawal yang terlihat untuk menjaga keamanan dengan membawa tombak-tombak yang dilumuri racun mematikan, hingga tidak akan ada yang berani membuat kekacauan di dalam keraton Sailolof.
“Ada perlu apa kalian membawa nama OPD datang ke kediamanku?” tanya ketua suku dengan suara lembutnya sebagai wanita dewasa yang keibuan.
Beliau berdiri dari singgasananya dengan anggun mengenakan baju yokai berwarna coklat tanah dengan garis kemerahan yang terbuat dari kulit pohon. Bentuknya melingkar dibagian leher dan jatuh langsung menutupi bagian tangannya dengan ujung menyudut ke depan dan belakang. Untuk bagian bawah mengenakan rok rumbai sampai lutut. Di pergelangan tangan dan kaki terdapat gelang dari rambut ijuk dan bermahkota bulu burung cenderawasih. Kalung manik-manik pun menghiasi bagian dadanya.
Ketua suku tanah Arfak itu melangkah mendekati tamunya. Berdiri di antara mereka. “Saya tidak yakin jika kalian datang untuk mencari tahu mengenai Karradev kami yang tidak dikenali dan tidak pula ada di dunia ini.”
Sandanu melirik Mutia yang duduk di sampingnya. Galigo pun ada di bagian sisi Mutia yang lain. Mereka bertiga ada di belakang ketua suku yang kini menatap Isogi dan Boe yang duduk terdiam.
“Mohon maaf,” ucap Isogi. “Tapi itu semua benar.”
“Nona Isogi Korewa,” sahut ketua suku. “Saya Salomina Hikayobi telah berjanji tidak akan berbicara mengenai yang mulia. Tentu kau tahu apa akibatnya.”
“Tapi, ketua suku yang dihormati.” Isogi berdiri sambil membungkukkan tubuhnya kepada ketua suku Salomina yang kini duduk kembali di singgahsana. “Demi melindungi beliau yang dimuliakan, tidakkah Anda pahami?”
Sebagai ketua suku, tentu saja beliau tahu apa yang kini terjadi di dunia ini. Tiga mahkota elemen dunia telah jatuh di tangan organisasi misterius yang dikenal sebagai Arakar. Dan kemungkinan besar giliran negeri Karra yang menjadi sasarannya. Tapi, sebagai satu-satunya orang yang pernah diberi kepercayaan dari luar tanah Dani oleh pihak istana, beliau tidak berani untuk ingkar janji.
“Sebelumnya, dua anggota dewan pun datang kemari beberapa minggu yang lalu,” ucap ketua suku. “mereka memaksa saya, tapi saya tidak bisa berbicara hingga mereka nekat naik gunung Jayawijaya untuk datang dan membuktikannya sendiri.”
“Silas dan Kaisiepo?”
“Benar, mereka berdua berani mengutuk saya dan menanggap saya lemah, tapi apa daya yang bisa saya lakukan. Janji adalah janji.”
Sandanu yang cukup geram dengan nada bicara yang lembut dan penuh keputusasaan mulai angkat bicara. “Anda mengenal janji, tapi apakah Anda tidak pernah berjanji untuk melindungi negeri?”
“Apa maksudmu nak?” ketua suku menatap Sandanu.
Sandanu berdiri tanpa hormat membuat beberapa pengawal mengambil langkah. Segera ketua suku mengangkat tangannya sebagai tanda larangan hingga para pengawal kembali menarik langkah.