Air terjun flamingo adalah air terjun tertinggi sungai Unir dan menjadi dinding batas wilayah tanah Asmat yang berada di sebuah cabang sungai yang langsung bermuara ke samudra Arafura. Terlihat, dari air terjun flamingo sungai Unir sudah memiliki lima cabang anak sungai dan setiap anak sungai masih memiliki beberapa anak sungai yang terus bercabang hingga ada ratusan muara di lepas pantai tanah Asmat.
Tanah Asmat, merupakan tanah negeri anak sungai yang berada di lembah bersungai yang penuh kelokan. Bukit tinggi dengan hutan lebat pun mengelilingi tanah Asmat sebagai tembok alam yang cantik. Ya, di sana terlihat bebatuan yang dipenuhi pohon-pohon rambat menjadi hiasan tersendiri. Juga burung cendrawasih yang hidup di pepohonan tanah Asmat.
Di dekat air terjun flamingo, berdiri lima anak muda yang baru datang menginjak kaki di tanah Asmat, kecuali perempuan berkulit hitam manis dengan rambutnya yang tertepa angin hempasan air terjun.
“Aku kembali,” ucap Isogi merinding melihat tanah kelahirannya yang kini terlihat jauh berbeda.
Di sampingnya, Sandanu menepuk bahu Isogi. “Sekarang, ayo kita lihat rumahmu!”
Dengan semangat, Sandanu mulai melangkahkan kaki dan diikuti teman-temannya, kecuali Isogi. Dia masih berdiri dan terlihat seulas senyum tercipta. Sambil memalingkan wajah, air mata pun berlinang. Isogi bahagia bisa melihat kembali tanah kelahirannya.
“Aku telah pulang!” Isogi pun melangkahkan kakinya untuk menyusul teman-temannya.
Tidak lama mereka melangkah, Sandanu berhenti. “Sekarang kita harus bagaimana?” di depannya, air sungai bercabang dan jalan yang mereka lalui buntu sebab ada di bertemuan sungai yang berkelak-kelok. Memang sungai sendiri adalah bagian dari kehidupan rakyat dan menjadi jalan besar di tanah Asmat.
“Sepertinya kita harus naik perahu,” ucap Mutia dan dia melihat ada tempat ojek perahu di sisi anak sungai yang lain.
Segera mereka pun menuju ke sana, dilihat pemilik perahu mengenakan baju rumbai, sebuah rok dari daun sagu yang dikeringkan dan atasan bertelanjang dada namun dihiasi lukisan putih di tubuh dan tangannya. Dua perahu pun mereka dapatkan untuk perjalanan di tanah Asmat. Tentunya Galigo dan Mutia dalam satu perahu dan sisanya di perahu yang sama. Perahu di tanah Asmat sendiri bernama perahu lesung yang terbuat dari kayu cendana, ketapang ataupun bintangur.
Perahu lesung itu sendiri ada dua jenis berdasarkan ukurannya, besar dan kecil. Perahu lesung yang mereka dapatkan adalah jenis yang kecil yang hanya bisa memuat maksimal lima orang. Bentuknya memanjang dan dua pendayung duduk di bagian depan dan belakang sehingga para penumpang ada di bagian tengah.
“Kalian pengembara ya?” ucap seorang pendayung di perahu Mutia. “Dan seorang jewel juga?”
Mutia mengangguk. “Iya!”
“Kami juga melihat roh batu akik terbang di atas air terjun flamingo, jadi itu kalian?”
“Benar, kami tidak tahu di depan ada air terjun!” jawab Galigo.
“Tapi, untungnya kalian selamat,” ucap pendayung. “Dan sepertinya kalian baik-baik saja.”
Mendengar suara pendayung, Galigo curiga. “Apa kalian tahu yang terjadi di bibir air terjun? Tentang peniup sumpit.”
“Jadi, kalian bertemu mereka?”