Di tengah tatanan tanah Asmat yang merupakan bagian dari ratusan sungai sebagai jalan utamanya, seseorang menaiki lesung seorang diri. Dia tidak mendayung lesung itu tapi lesung yang dinaikinya mampu meluncur dengan sendirinya. Orang-orang yang melihat aktraksi tersebut dari teras-teras rumah tysem membiarkan pria muda itu bersenang-senang. Mereka hanya memberikan jalan dan tidak berani mengganggunya.
Dia pria berkulit sawo matang yang memiliki rambut panjang berwarna merah dengan ikat kepala warna putih, wajahnya tampan dengan tulang rahang yang kentara, memiliki pandangan mata yang tajam, hidungnya mancung dan mulutnya tidak berhenti tertawa senang.
Pria itu mengenakan baju semacam rompi warna hitam tidak berlengan yang memiliki beberapa saku dengan celana pendek tebal sebatas lutut. Dia terlihat menikmati suasana di tanah Asmat.
Sebuah gelang kaki batu akik bersinar menandakan bahwa dia mengendalikan lesung yang dinaiki menggunakan kekuatan sastra. Pengendalian lesung itu sangat mahir meskipun kadang melawan arus sungai tetap meluncur, kadang di sebuah kelokan mencipratkan air sungai hingga mengenai rumah tysem milik penduduk, tapi tidak ada yang berani memarahinya.
Pria itu terus melaju memasuki pedalaman tanah Asmat, dan tentu semua orang mengenali siapa dia. Dia yang mengendalikan lesung dari arah muara sungai sampai akhirnya di ujung pertemuan semua sungai di sebuah air terjun megah yang menciptakan pelangi abadi saat matahari cerah menyinarinya.
“Luar biasa... indah.” Pria itu berhenti di depan air terjun dan kagum melihatnya. Percikan air yang deras membuat tubuhnya basah, tapi dia tidak peduli hingga tubuhnya yang berotot berkilau di bawah pelangi. “Baruna La dan Baruna In pasti belum mengetahui air terjun ini.”
Pria itu beranjak dari atas lesungnya, membuat lesung itu menepi karena penggunaan kekuatan sastranya untuk terparkirkan sendiri. Dia berdiri kagum di atas permukaan air tanpa tercebur karena aliran sastra di kakinya memberikan keseimbangan. Lalu melangkah mendekati air terjun Flamingo untuk menyentuh dinding air yang sangat deras.
“Ada sesuatu di balik air terjun ini,” ucapnya sambil menembus air terjun Flamingo.
Tekanan deras air terjun tidak menyulitkan pria itu menerobosnya hingga akhirnya di balik sebuah air terjun yang megah terdapat gua yang tersembunyi. Gua itu di penuhi air permukaannya dan tentu kegelapan menyulitkannya melihat untuk memastikan ada apa di gua tersebut.
“Batu mutiara sandikala bersinar.... kemamang.” Tiba-tiba puluhan bahkan ratusan bola-bola cahaya kecil bermunculan dari bawah kakinya menerangi seisi gua.
Gua di balik air terjun Flamingo tersebut tidak begitu dalam. Batuan stalaktit dan stalakmit menghiasi isi gua dengan lukisan cap tangan berwarna merah, ada juga gambaran binatang yang aneh tidak dikenal.
Pria itu mencoba memasuki gua tersembunyi di balik air terjun tersebut untuk memastikan sesuatu. Tekanan waktu yang berputar dia rasakan seakan waktu di dalam sini tidak terpengaruh oleh perputaran waktu yang sesungguhnya. Dia pun curiga ada sesuatu yang tersembunyi.
Kemudian di ujung gua yang paling gelap, dengan kekuatan sastranya memerintahkan ratusan kemamang untuk berkumpul menerangi sesuatu di ujung gua. Saat melihat hal yang tak terduga, pria itu terkejut. “Waktu memang penuh dengan misteri.”
***
Saat matahari bersinar cerah menyinari air terjun Flamingo, di saat itu keindahan tercipta tiada bandingannya. Sebuah pelangi abadi menggambarkan betapa mengagumkannya alam di tanah Asmat. Keindahan yang jauh dari keramaian sebab tidak banyak penduduk Asmat mendirikan rumah di dekatnya, dan tidak pula banyak orang berkunjung. Hanya beberapa kelompok pendayung lesung yang mengantar penumpangnya pergi untuk mencari kayu bakar.