Di tengah keramaian tanah Asmat, orang-orang melakukan aktifitas masing-masing meskipun tanah negerinya sedang dikuasai oleh para perompak. Hal ini tentu membuat sebagian besar penduduk tanah Asmat merasa tenang sebab keindahan alamnya membuat para Tetrabarun itu sangat menikmati suasana.
Ada perompak wanita yang selalu berkeliaran malam sambil minum arak sampai mabuk dan di siang hari akan tertidur pulas. Seorang perompak muda tampan yang selalu keliling tanah Asmat dengan lesungnya. Kali ini, perompak lain jalan-jalan seakan sedang berwisata.
Dia pria berbadan tinggi besar dengan otot tubuhnya yang membuat orang takut jika melihatnya marah. Pakaiannya sangat santai mengenakan singlet putih dengan celana tebal panjang warna biru dan sebuah kain panjang diikatkan di pinggangnya berwarna merah. Sebuah ukiran tato melengkung di lengan atasnya. Wajahnya terlihat kasar dengan sebuah bekas sayatan di dahi sebelah kanan memanjang melintasi pelipis mata. Rambutnya hanya dibagian tengah yang dibiarkan tumbuh sampai belakang, dengan sisi kanan kirinya tercukur habis. Rambutnya berwarna ungu menjuntai ke samping kanan.
Selain itu, sebuah batu akik melingkar di jari tengah kanannya yang kini memegang puluhan sate ulat sagu sambil berjalan. “Kenapa rasanya makan sate ini tidak ada kenyangnya, hehehe...” Dia makan sate ulat sagu dengan lahap.
Dua wanita Asmat menemani sambil membawa kantung berisi sate ulat sagu yang didapatkan dari penduduk. Dia tidak membelinya meskipun orang-orang pun memberikan makanan itu karena merasa takut. Perompak itu keliling beberapa aliran sungai untuk mendapatkan sate ulat sagu kesukaannya yang dia temukan di tanah Asmat.
Ketika melihat tusuk sate yang dipegang perompak itu habis, wanita Asmat dibelakangnya segera memberikan sate ulat sagu yang lainnya. Sementara satu wanita lagi, memungut tusuk sate yang dibuangnya sembarang di teras-teras rumah tysem yang dia lewati.
Ketika sedang asik melahap makanannya, tiba-tiba dari arah depan seseorang berani menabrak jalannya. Atau dirinya sendiri yang menabraknya karena sibuk menikmati sate. Seketika dia menunduk melihat pemuda yang menabraknya. Dia menajamkan matanya untuk memperhatikan pemuda itu.
Pemuda di depannya pun menatapnya dengan tajam, perompak itu tahu bahwa anak yang tingginya hanya sebawah dadanya itu bukan orang Asmat. Kulitnya yang kecokelatan dan rambut benhurnya yang acak-acakan. Perompak itu sadar dia datang dari daratan lain.
Dan temannya di samping terdengar membisikkan sesuatu. “Ayo ka Danu, kita jangan membuat masalah.” Temannya itu berkulit kuning Langsat dengan rambut cepak warna hijau tua.
Kedua anak itu mengenakan pakaian rumbai sama persis seperti pemuda satunya lagi yang tentu penduduk asli tanah Asmat, bahkan tubuhnya pun dilukis garis-garis khas orang Asmat.
Kemudian, kedua temannya pun menarik pemuda yang telah menabraknya tadi. Tapi dua wanita yang berjalan di samping perompak itu, buru-buru mengajaknya melanjutkan langkahnya sambil memberikan sate ulat sagu yang baru.
Diam-diam dia menciptakan sebuah laba-laba yang berjalan untuk mendengarkan pembicaraan pemuda itu. Laba-laba tersebut membuat sarang di bawah teras kayu rumah tysem ketika ketiga pemuda itu berdiri memperhatikan langkahnya.
“Pria itu salah satu Tetrabarun,” ucap pemuda Asmat.
Boe melirik pria yang berjalan dengan dua wanita Asmat itu. “Jadi dia seorang perompak.” Boe merasa ngeri mengingat wajahnya.”
“Ini kesempatan kita untuk melawannya karena sudah menyerang Galigo.” Sandanu hendak berangkat untuk menyusul kembali perompak itu.
Tapi, Boe menarik lengannya. “Yang penting saat ini kita mencari keberadaan ka Gali.”
“Benar, lagipula bukan de yang menyerang Galigo. Menurut beberapa saksi perompak yang menyerang Galigo semalam itu seorang wanita,” ujar Mandinuma.
Sandanu menghela nafas kesal dan mereka kembali melanjutkan pencariannya untuk menemukan keberadaan Galigo saat ini. Ketika itu, laba-laba di bawah kayu yang mereka injak menghilang dan apa yang didapatkan mengenai pembicaraan mereka langsung diketahui oleh orang yang menciptakan laba-laba itu.
Kembali lagi dengan perompak yang asik melahap sate ulat sagu. Dia menyeringai. “Ternyata kapten In sudah bermain-main.”