Bukan hanya memercikkan cahaya keemasan di permukaan air laut, mega mendung di kala senja pula menyiram bangunan termegah di tanah Asmat. Bangunan itu berdiri menghadap matahari tenggelam hingga kilauan perak yang melapisinya memancarkan cahaya yang indah, bangunan itu disebut keraton Agats.
Keraton Agats berdiri sebagai pusat pemerintahan tanah Asmat sekaligus kediaman ketua suku yang menyucikan diri dan disucikan. Keraton tersebut dibangun dengan arsitektur rumah tysem yang megah dengan pilar kayu gelondongan yang tinggi dan berlantai tiga. Dindingnya memiliki kemiringan yang indah dengan penyangga kayu-kayu besi yang kuat, atapnya dari anyaman daun sagu yang diperciki emas murni.
Sebuah delta sungai yang ditumbuhi rerumputan berbunga ungu menjadi tempat berdirinya keraton Agats yang dikelilingi ratusan patung bis hasil ukiran terbaik para bujang yang tinggal di rumah Jew hasil didikan guru besar yang mengabdikan diri untuk tanah Asmat.
Kini guru besar dari rumah Jew datang berkunjung untuk menemui ketua suku. Dia datang seorang diri mengenakan pakaian kebesarannya dari rumah Jew. Kedatangannya yang mencolok langsung disambut baik oleh pihak keraton dan diantar ke singgasana ketua suku di lantai teratas.
“Salam hormat bagi ketua suku yang suci.” Guru besar memberikan hormat secara khidmat. Segera dia duduk di atas permadani dari bulu kelinci sambil meletakkan tombaknya yang panjang di samping.
Ketua suku menerima guru besar dengan pakaian kebesarannya yang terbuat dari kulit kayu di hiasi rumbai daun sagu yang menjadi makanan pokok di tanah Asmat. Terikat dengan rotan bermanik biji-bijian dari atas dadanya jatuh lurus ke bawah lutut. Ada tiga susunan rumai dengan warna merah, kuning, hijau dari atas ke bawah. Selain itu, kain kulit kayu berwarna coklat melintang di atas kepala jatuh ke bagian belakang. Pakaian tersebut dinamakan baju Sali, bagi perawan suci.
Lalu sebuah mahkota ijuk berhias bulu burung menghiasi rambut kepalanya yang membentuk beberapa gulungan rambut berwarna hijau lumut. Kulit yang hitam mengkilap bagaikan pualam. Lengannya yang kencang berhias rumbai dengan bulir bulu kerinci putih, begitu juga dengan bagian kakinya.
“Ada apa, guru besar dari rumah Jew mengunjungi keraton Agats tanpa surat pemberitahuan hingga tidak sempat mempersiapkan jamuan.” Ketua suku yang anggun berdiri dengan kedua tangan di letakan di depan dada.
“Maafkan aya yang datang tiba-tiba, aya memberi kabar bahwa pada bulan purnama nanti akan terjadi gerhana bulan. Karena itu bersiaplah keraton Agats menerima para bujang datang melakukan ritual seperti yang diajarkan oleh para leluhur.”
“Penghuni rumah Jew selalu waspada terhadap tanda alam yang akan datang, maka aya akan menerimanya dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelaksanaan upacara ritual.”
Kemudian guru besar berdiri memberikan sebuah gulungan pesan untuk ketua suku. Lalu undur dari hadapannya, tidak lupa membawa kembali tombak yang melambangkan sejati dirinya.
“Aya, Irimiami undur diri.” Guru besar memberikan hormat dan segera pergi.
Ketua suku mengenal baik guru Irimiami yang juga melantiknya menjadi ketua suku tanah Asmat. Kedudukan ketua suku tidaklah diwariskan secara turun-temurun sebab setiap ketua suku yang menjabat adalah seorang perawan suci pilihan para bujang dari rumah Jew. Dan tentu sebelum menjabat sebagai ketua suku dirinya harus tinggal selama tujuh hari bersama para bujang di rumah Jew.
Gadis suci yang mampu menahan hawa nafsu, dan dicintai para bujang di rumah Jew maka dialah yang terpilih menjadi ketua suku sampai dirinya undur diri untuk membangun keluarga, maka jabatan ketua suku akan digantikan oleh perawan suci yang baru.
Setelah kepergian guru Irimiami, ketua suku membuka surat gulungan yang diberikan padanya. Dari pesan itu, dia mengetahui keadaan yang telah terjadi di negeri Karra terutama di tanah Dani dan sosok Karradev Janggi. Berita tersebut sampai di rumah Jew dari seorang pemuda bernama Galigo yang menjalin pertemanan dengan perempuan asli tanah Asmat.