Pusaran arus berputar di bawah tebing batu tiba-tiba berhenti, entah apa yang terjadi seakan hal tersebut menjadi kesempatan bagi Galigo keluar dari celah sungai sambil menarik tangan Sikerei yang lemas kehabisan nafas. Kejadian itu berbarengan dengan munculnya Sagitarius keluar dari aliran waktu dan muncul di rumah Jew. Tentu ada hubungannya yang membuat pusaran air di sana berhenti sesaat.
Hanya beberapa detik pusaran arus berhenti, itu sudah cukup membuat Galigo keluar dari arus berputar meskipun untuk berenang keluar celah sungai masih membutuhkan usaha. Ternyata cukup panjang juga celah itu, sambil menarik lengan Sikerei beberapa saat kemudian berhasil keluar ke permukaan sungai.
Galigo melihat langit senja ketika berhasil keluar dari celah itu. “Angkat tubuhmu Sikerei, kita sudah keluar dari celah sungai!”
“Aku tidak kuat bergerak lagi.” Di permukaan sungai nafas Sikerei tersengal-sengal dengan mata yang sulit dibuka.
Terpaksa Galigo kembali menariknya untuk menepi dari sungai. Setelah melempar tubuh Sikerei ke tanah, Galigo mengangkat tubuhnya dengan tumpuan dua tangan untuk keluar dari sungai. Tanpa disadari akibat melawan arus berputar di celah sungai, Galigo kehilangan sesuatu yang melekat di tubuhnya.
Sikerei yang sudah tidak berdaya mencoba menatap Galigo namun yang dia lihat sesuatu yang menggantung dari bagian tubuh Galigo. “Ternyata au punya besar juga,” ucapnya langsung pingsan.
Mendengar suara parau Sikerei yang tiba-tiba pingsan, Galigo mencari maksudnya. Dia pun menunduk dan didapati bahwa koteka yang dia kenakan hilang terbawa arus. Galigo meringis geli sambil menendang pelan tubuh Sikerei yang pingsan. “Kurang ajar.”
Lalu Galigo terduduk sambil berusaha menyadarkan Sikerei namun dirinya pun kelelahan, yang ada dia merebahkan kepalanya pada tubuh Sikerei sambil terlentang menutup kemaluan dengan dua telapak tangan. Kakinya menyentuh air sungai.
“Kenapa ini terjadi padaku?” Galigo mencoba menutup matanya untuk menghilangkan lelahnya, lagi pula Sikerei juga belum sadar meskipun detak jantungnya terdengar di telinga Galigo yang merebahkan diri padanya.
Galigo tidak peduli dengan tubuhnya yang telanjang karena dia tahu di tempat tersembunyi itu tidak mungkin ada yang melihatnya, lagi pula malam telah terjatuh menyelimuti udara dengan semilir angin yang lumayan dingin Galigo rasakan.
***
Di tengah keramaian tanah Asmat, Mutia yang mengkhawatirkan Galigo melangkahkan kakinya di antara rumah-rumah tysem milik warga setelah Sandanu menambatkan lesung di tempat penitipan sebab orang-orang sudah dilarang mendayung lesung di sungai ketika bulan purnama bersinar.