GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #151

S4. Kuil Korke

Padang savana Lamanabi, 30 Asada 665 Z

Di tengah padang rumput mengering kecoklatan dengan beberapa pohon-pohon akasia yang tumbuh menyebar di musim kemarau, terlihat lima pemuda berkuda zebra menuju suatu tempat, mengikuti jalan setapak yang terlihat tanahnya menandakan jalur perjalanan yang menjadi satu-satunya petunjuk agar tidak tersesat di luasnya padang savana.

Setelah beberapa lama berkuda zebra meninggalkan pusat tanah Lamaholot, mereka pun melihat sebuah komplek bangunan di tengah padang, yaitu kuil Korke. Sebuah aliran parit diciptakan mengelilingi tempat suci tersebut dengan air jernih yang dipenuhi ikan-ikan dan bebatuan. Parit yang cukup dalam menenggelamkan seorang remaja.

Sebelum menyeberangi parit tersebut, mereka mengikat kuda-kuda zebra di tempat yang tersedia. Lalu, berjalan melintasi sebuah jembatan kayu untuk memasuki area kuil Korke. Kuil yang cukup sunyi dan tenang di tengah semilir angin yang menggoyangkan rerumputan. “Apa tidak ada penjaga kuil di sini?” ucap pemuda berkulit coklat dengan rambut benhurnya, Rakeyan Sandanu.

“Benar, sepertinya kuil ini memang tidak sering dikunjungi,” tambah anak laki-laki berambut hijau tua dengan kulit tubuh yang kuning langsat, Boe Lare. Dia melihat halaman sekitar dipenuhi daun-daun pohon akasia yang berguguran.

Pemuda lain yang memiliki kulit putih terang, berambut cokelat menyahuti, Andi Galigo. “Tempat ini memang tidak perlu penjaga, ada aliran sastra di udara yang menangkal berbagai serangan,” ucapnya sambil merasakan aliran sastra tersebut.

“Tapi kenapa kita bisa dengan mudah memasuki kuil ini?” Gadis berambut marun dengan kulit putih kemerahan, Cut Mutia. Dia mencoba menoleh ke belakang, takut kalau ternyata ada serangan mendadak.

Satu lagi, wanita muda berkulit hitam mengkilap dengan rambut hitam bergelombang yang lebih mengkilap, Isogi Korewa. Dia menunjuk ke seseorang yang terlihat berdiri di depan bangunan utama. “Jawabannya ada di sana!”

“Putri Rheina Rosari,” sebut Sandanu.

Dari jembatan pintu masuk terdapat empat rumah amu kelaga di bagian kanan dan kiri, sebuah rumah panggung dengan atap ilalang yang sekaligus berfungsi sebagai dinding berbentuk menyungkup ke atas, yang digunakan sebagai tempat istirahat untuk menginap di kuil. Kemudian, di halaman pelataran ada buah batu bundar yang dikeramatkan bernama Nabanana untuk meletakan sesaji kepada dewi Rara Wulan Tana Ekan.

Dan satu bangunan utama yang lurus dengan jembatan berbentuk rumah panggung tanpa dinding yang juga beratap ilalang bernama Koke Bale. Berbentuk persegi panjang, memiliki delapan belas tiang penyangga yang disebut bledan dan enam tiang utama yang disebut Ri'e. Sekeliling bangunan diberi batu kerikil sebagai pembatas suci, lalu terdapat dua pohon keluang yang dikelilingi batu ceper. Selain itu, di belakangnya masih terdapat beberapa rumah amu kelaga.

Rumah Koke Bale memiliki satu pintu dan di depan sana berdiri, perempuan cantik yang memiliki mata berwarna putih meskipun kulitnya coklat gelap. Dia mengenakan selendang penutup dada berwarna biru dengan sarung tenun sebagai bawahan coklat beralur biru dari baju amarasi. Sebuah kalung muti salak dan sepasang gelang kepala ular sebagai aksesoris, juga ikat kepala dan sepasang konde berhias sulur kain dengan tiga buah koin menghiasi rambut warna hijau lumut yang disanggul tersemat sisir emas.

“Selamat datang di kuil Korke,” sambutnya mempersilakan tamu yang datang masuk ke dalam bangunan rumah Koke Bale. “Kebetulan aku baru saja selesai mempelajari kitab pusaka dan kita bisa makan siang bersama,” tambah Putri Rheina.

Lihat selengkapnya