GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #152

S4. Belahan Jiwa

Matahari kembali menerangi dunia. Di dalam rumah Koke Bale yang tidak berdinding sinarnya membangunkan pemuda yang tidur di ruang namag. Saat kesadarannya kembali dari alam mimpi sambil menguletkan badan, pelan matanya pun terbuka biarpun mulutnya masih menguap.

Seketika dia terperanjat saat menyadari sepasang mata mengamatinya. “Apa yang terjadi?” ucapnya sambil berusaha terduduk.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mutia.

Sandanu melirik, putri Rheina yang sedang mengganti sesaji di batu Nabanana dan yang lainnya sibuk menyapu halaman dari guguran daun akasia yang sepekan lebih tidak dibersihkan. “Kalian sudah bangun?” Sandanu meringis.

“Cepat kerja!” bentak Mutia sambil berpaling meninggalkannya untuk melanjutkan membersihkan area kuil Korke.

Sandanu beranjak dari tempatnya dan dia menemukan sebuah kain tenun. Diraihnya kain itu dan segera Sandanu menghampiri Putri Rheina. “Terima kasih kainnya,” ucap Sandanu sambil mengikat kain panjang itu di pinggang.

Putri Rheina tersenyum melihat Sandanu senang menerima kain tersebut. Dilihatnya, Sandanu mendekati parit dan membasuh muka dengan airnya yang jernih keluar dari sumber mata air bawah tanah hingga parit itu tidak kering di musim kemarau saat itu.

Selanjutnya, Sandanu membantu yang lainnya membersihkan area kuil. Dari sampah yang dikumpulkan, mereka membakar daun kering tersebut sekaligus sebagai tempat untuk membakar ubi sebagai sarapan pagi.

Kuil Korke terlihat sejuk, tidak seperti saat Sandanu dan teman-temannya sampai di tempat itu. Dan ubi bakar telah matang, segera mereka santap untuk sarapan berkumpul di tengah halaman. Sebuah tikar dari rotan digunakan sebagai alas duduk.

“Apa kamu akan kembali ke Nusakambangan jika pertemuan Pancadev diselenggarakan?” tanya Putri Rheina kepada Isogi.

Isogi menatap yang lainnya, lalu menjawab pertanyaan putri Rheina. “Ketika kami di tanah Asmat, seorang Tetrabarun memberitahukan keberadaan markas Arakar. Karena itu kami berencana pergi ke sana.”

“Markas Arakar?” Putri Rheina terkejut.

Sandanu menyahuti. “Iya, Baruna Intcjeh mengatakan markas mereka ada di tanah Bali.”

“Tanah Bali dikenal sebagai pulau Dewata,” ujar Galigo yang pernah singgah di tanah negeri itu. “Dan di sana ada perkumpulan para guru spiritual dari beberapa aliran agama yang dijuluki Nawaoza “

“Nawaoza?” Mutia baru mendengar hal itu.

Namun putri Rheina tahu mengenai mereka. “Mereka para guru spiritual yang kabarnya mencoba menyatukan semua ajaran dalam satu pemahaman utuh demi menemukan sepuluh suku yang hilang. Keberadaan Nawaoza itu yang membuat tanah Bali dijuluki sebagai pulau Dewata sebab terdapat sembilan patung dewa yang berdiri di sana.”

“Ibu Suri di negeri Dhara berhasil menterjemahkan kitab pusaka itu dari ajaran Kharingan di tanah Dayak,” ujar Boe. “Seandainya di sana ada perkumpulan Nawaoza, mengapa markas Arakar juga ada di tanah Bali?”

Lihat selengkapnya