GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #153

S4. Perjalanan Terakhir

Keraton Larantuka terletak di tepi padang savana Lamanabi. Didirikan dengan rumah Sao Ata Mosa Lakitana, sebuah rumah panggung berbentuk persegi panjang dan memiliki tiga lantai. Tiang-tiang terbuat dari kayu gelondongan dan papan sebagai lantai, lalu beratapkan ilalang yang sekaligus sebagai dinding diberi pelapisan perak. Untuk ventilasi, setiap tingkatan diberi tiang panggung baru yang tidak tertutup ilalang.

Ketika malam hari, penerang menyala digantung di setiap tiang. Dan tumbuh-tumbuhan yang menjalar di atas atapnya memekarkan bunga malam yang bersinar kelap-kelip dari putiknya menambahkan keindahan keraton Larantuka.

Malam itu, terlihat putri Rheina menemui orang tuanya yang menjadi ketua suku tanah Lamaholot di ruang singgasana lantai teratas. “Maaf Bapa, goe (saya) telah menghilangkan kitab pusaka yang tite (kita) miliki.”

“Sudah saatnya, apa yang bukan milik tite kembali kepada pemiliknya,” balas ketua suku Lamaholot.

Dia pria dewasa yang gagah berbalut baju sabu, sebuah kemeja putih lengan panjang dan bawahan sarung tenun. Terdapat selendang yang diselempangkan di bahu, sabuk berkantong dan perhiasan kalung mukti salak. Terakhir, memakai mahkota tiga tiang terbuat dari emas. “Seperti kain tenun dan suatu saat nanti benangnya akan pudar dimakan waktu, dan tite harus membuat kain tenun yang baru.”

“Goe mengerti, Bapa,” ucap putri Rheina. “Sebab itu goe mohon restu untuk berkelana menyelesaikan perkara yang telah goe perbuat.”

Ketua suku Lamaholot berdiri dan memeluk putrinya yang duduk sambil membelai rambutnya. “Mo (kamu) telah memilih apa yang telah jadi jalan hidup mo, maka lakukanlah sesuatu apa yang hati mo katakan.”

“One Mela sare, Bapa.” (pujian sebagai ucapan terimakasih) 

Ketua suku Lamaholot menyadari bagaimana putrinya telah tumbuh dewasa, meskipun selalu memilih untuk tidak bergantung padanya namun tetap putri Rheina menghormati dirinya sebagai seorang ayah untuk meminta restu. “Goe akan sangat merindukan bapa.”

Meskipun ketua suku sendiri merasa khawatir dengan kepergian putrinya kali ini, sebab beliau tahu siapa yang akan dihadapi olehnya. Akan tetapi, ketua suku tetap percaya dan memanjatkan doa pada Dewi Rera Wulan Tana Ekan yang maha meliputi segala takdir.

Setelah mendapat restu dari orang tuanya, putri Rheina segera memberitahukan kepada Sandanu dan teman-temannya untuk ikut serta pergi ke tanah Bali. Dia pun memerintahkan kepada pelayan di keraton agar menyiapkan perjalanannya esok hari.

***

Di siang hari itu, terlihat ketua suku Lamaholot mengantarkan kepergian putrinya melalui gerbang sebelah barat. Hamparan padang savana yang berbukit-bukit menyambut awal perjalanan Putri Rheina bersama Sandanu dan teman-temannya, meninggalkan tanah Lamaholot.

Lihat selengkapnya