GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #154

S4. Tanah Lio

Sebelum keluarga penggembala mengeluarkan domba-dombanya, Putri Rheina berpamitan untuk melanjutkan perjalanan bersama Sandanu dan yang lainnya. Berkuda kembali melewati padang rumput yang berbukit-bukit selama beberapa hari. Setiap malam, mencari sumber air untuk menginap.

Suatu hari dari atas bukit, terlihat lembah padang rumput luas tanpa terlihat sekumpulan pohon. Hampir semuanya rumput dan semak-semak. “Padang rumput stepa,” ujar putri Rheina. “Kita sudah dekat tanah Lio.”

“Apa malam nanti kita bisa sampai sana?” tanya Galigo.

Putri Rheina menjawab sambil mulai memacu kudanya menuruni bukit. “Mungkin sebelum malam kita bisa masuk tanah Lio.”

Sandanu langsung mengikuti dengan dibuntuti lainnya dengan Galigo di barisan belakang. Kali ini padang rumput yang luas hanya ditumbuhi ilalang dan semak-semak atau tumbuhan perdu. Tidak ada pohon besar yang tumbuh bahkan permukaan tanahnya berpasir atau bisa disebut semi gurun.

Terik matahari pun lebih menyengat, binatang yang terlihat sesekali hanya kadal-kadal yang melintas di depan mereka. Selanjutnya, mereka menemui padang stepa yang lebih hijau di dekat aliran sungai. Dari kejauhan mulai terlihat tanah Lio dengan bangunan-bangunan tanah negerinya saat menjelang sore. Sebuah gunung menjadi latar yang memukau bagi tempat tenggelamnya matahari, gunung Kelimutu.

Mengikuti aliran sungai yang arusnya berlawanan dengan kedatangan mereka, membawanya sampai gerbang masuk tanah Lio dekat percabangan sungai seakan sungai menjadi benteng alami tanah Lio saat menjelang petang. Sebuah jembatan menjadi jalan masuk di mana saat melewati batas malam hari, jembatan tersebut akan ditarik dan terangkat untuk mencegah kedatangan orang asing yang masuk diam-diam.

Di sisi aliran sungai bagian dalam tanah Lio pun diberi pagar kayu yang ditumbuhi tumbuhan merambat, pohon kacang-kacangan. Jalan besar tanah Lio ditumbuhi rumput hijau yang terawat dengan sisi jalan ditanami pohon lontar sebagai peneduh.

Malam itu terlihat penerang tanah Lio terikat di batang pohon lontar depan rumah musalaki. Struktur rumah yang menggunakan batu sebagai pondasi dan empat tiang penyangga setiap sudut persegi dengan atap yang menjulang tinggi dari alang-alang yang disebut atap leka reja. Rumah musalaki terdapat dua lantai yaitu teo untuk lantai teras dan ndawa sebagai lantai bagian dalam yang tidak memiliki dinding ruangan. Jenis rumah panggung ini memiliki kolong lantai rendah yang digunakan hanya untuk sirkulasi udara supaya tidak lembab.

Menyusuri jalan tanah Lio di malam hari terlihat sepi sebab kebanyakan orang beristirahat di rumah setelah pergi bekerja ke ladang di bawah kaki gunung Kelimutu. Hanya terlihat anak-anak yang bermain di halaman rumah, dan sesekali terdengar perbincangan orang tua yang bersantai di lantai teo.

“Kita akan bermalam di mana?” tanya Sandanu yang berada di belakang putri Rheina.

Putri Rheina sendiri sejak awal perjalanan selalu di depan karena memang diminta untuk menunjukkan jalan. “Aku sedang mencari rumah penginapan, biasanya penginapan memiliki pelataran luas untuk menampung kuda-kuda tamunya.”

“Oh gitu!” balas Sandanu menuruti.

Tidak lama kemudian di tengah tanah Lio, mereka menemukan penginapan dengan rumah-rumah musalaki yang didirikan lebih kecil sebagai penginapan sebab di dalam rumah musalaki tidak terdapat ruang-ruang yang terbagi untuk dijadikan kamar.

Lihat selengkapnya