GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #157

S4. Manjareal Semangi

Sebelum matahari tenggelam, kapal golekan telah berlabuh di tanah Sumbawa. Kali ini rombongan Sandanu bermalam di rumah dalam loka, sebuah rumah panggung khas masyarakat Sumbawa.

Rumah dalam loka sendiri, merupakan dua rumah panggung beratap kembar yang dibangun menggunakan kayu jati yang disebut bala rea sebagai dua bangunan utama yang memiliki sembilan puluh sembilan tiang penyangga. Selanjutnya, ada bagian yang menjorok ke depan sebagai teras yang juga jalan masuk menuju rumah dalam loka dangan lantai yang miring dan landai.

Di ruangan yang disebut sebagai lunyuk agung, para tamu mendapatkan hidangan makan malam. Karena luasnya ruangan tersebut dan tiada perabot untuk duduk, maka digelar tikar anyaman rotan sebagai lesehan. Berbagai makanan dihidangkan, ada tumi supi berbahan udang rebon, mangge mada sebuah masakan gulai dari jantung pisang, dan gecok yaitu jeroan dan daging sapi yang dihidangkan dengan parutan kelapa dan bumbu belimbing wuluh.

“Ngomong-ngomong, apa maksud dari pendeta Marapu di kapal golekan tadi siang?” tanya Boe seusai makan malam. 

Mutia juga penasaran dengan hal itu. “Dan siapa klan mata putih itu?”

“Sebagai pemilik mata putih bukankah saat kita di pulau seram, dua malaikat juga menyebutkan bahwa putri Rheina adalah titisan suci dari ibu Pertiwi?” ujar Galigo.

Putri Rheina mencoba menjelaskan apa yang dia ketahui mengenai jati dirinya sebagai pemilik mata putih. “Dikatakan orang Bali merupakan keturunan dari rahim ibu Pertiwi akan tetapi karena suatu kesalahan ibu Pertiwi mengutuk mereka menjadi seperti manusia biasa meskipun kelak telah dijanjikan bahwa suatu saat nanti terlahir kembali keturunan mereka pemilik mata putih yang suci sebagai titisan ibu Pertiwi pertanda ibu Pertiwi akan turun ke dunia.”

“Bukankah ibu Pertiwi sosok mahluk agung yang lebih tinggi dari para dewa di dunia khayangan?” tanya Isogi. “Bagaimana bisa ibu Pertiwi memiliki keturunan?”

Putri Rheina menggeleng. “Ini hanyalah kepercayaan bagi penduduk asli tanah Bali, di mana keberadaannya pun telah punah layaknya penduduk tanah Lingon pemilik mata biru yang dianggap sebagai keturunan bidadari.”

“Aku pernah mendengar dari tuan Tian Malaka mengenai klan mata istimewa,” ucap Isogi. “Seperti klan mata biru yang punuh di tanah Lingon ada juga klan mata merah dan klan mata hijau karena sebagian manusia normal memiliki mata berwarna hitam kecoklatan. Tapi, aku tidak pernah mendengar klan mata putih.”

“Bukankah jika kita ingat mengenai Karradev Janggi di negeri Karra, beliau juga memiliki mata istimewa berwarna kuning,” ujar Sandanu.

Mutia ingat mengenai hal itu. “Mungkin karena dia adalah titisan ratu peri.”

“Siapa pun pemilik mata istimewa, keberadaannya masihlah misterius.” Isogi pun masih tidak mengetahui banyak mengenai mata putih milik putri Rheina.

Lihat selengkapnya