Tiga hari kemudian, gerbang tanah Bima terlihat dan hari itu yang seharusnya mereka telah sampai di tanah Bali namun masih berada di pulau Sumbawa. Memasuki tanah Bima, deretan rumah unik berbentuk segitiga sama kaki di bagian muka depan dan belakang yang memanjang tertata sepanjang jalan besar yang bernama rumah lengge.
Rumah khas penduduk tanah Bima merupakan rumah panggang dengan atap alang-alang yang menjulang lancip. Atap rumah pula menjadi bagian dari dinding dengan lantai terbuat dari papan dan kayu gelondongan sebagai tiang penyangga.
Selain itu, sepanjang sisi jalan besar pohon-pohon bidara menjadi peneduh yang hijau dengan dedaunan yang berbentuk bulat kecil. Waktu itu, pohon bidara sedang musim berbuah lebat di antara ranting-ranting yang berduri.
Jalan besar sendiri terlihat hijau dari rerumputan yang terawat sama panjang bagaikan permadani alam. Terlihat beberapa armandilo, binatang yang memiliki zirah yang melapisi tubuhnya sedang makan rayap.
Siang itu, terlihat pula aktivitas penduduk tanah Bima meramaikan suasana. Bagi kaum perempuan mengenakan pakaian rimpu cala yang terdiri dari dua kain sarung sebagai bawahan dan atasan yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah. Sedangkan kaum pria mengenakan kemeja dan kain songket sebagai bawahan yang bernama tembe me'e dan sebuah ikat kepala bernama sambolo.
“Permisi,” Isogi menyapa seorang penduduk. “Apa pelabuhan kapal masih jauh dari sini?”
Wanita muda yang sedang menanam bunga di bawah pohon bidara tersenyum hangat menyambut tamu di tanah negerinya. “Tidak nona, tidak jauh di ujung jalan berbelok arah kanan akan terlihat pelabuhan tanah Bima. Kebetulan ada kapal pedagang Celebes berlabuh sejak kemarin pasti di sana ramai orang.”
“Terima kasih untuk petunjuknya,” balas Isogi.
“Sama-sama.”
Kemudian, Isogi menghampiri teman-temannya yang berdiri di bawah pohon bidara seberang jalan karena sejak melewati keraton ketua suku di pusat tanah Bima, mereka melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Isogi pula menyampaikan bahwa di tanah Bima ada kapal pedagang negeri Dirga yang sedang berlabuh.
Segera mereka pun menuju pelabuhan kapal yang terletak di pesisir utara pulau Sumbawa. Dan benar dari informasi yang didapat, keramaian para pedagang memadati pelabuhan yang menaikan barangnya ke kapal pinisi.
“Sepertinya kapal pinisi itu akan melanjutkan pelayarannya,” ucap Boe.
Segera Galigo teringat temannya. Mengingat mendiang tuan Halu Oleo yang menjabat sebagai ketua kapal pinisi yang sama dilihat berlabuh di dermaga, Galigo segera memberi usul. “Kapal pinisi itu tempat Eran bekerja bersama mendiang tuan Halu Oleo, mungkin Eran masih bekerja di sana.”
“Benar juga,” sahut Isogi. “Jika Eran masih bekerja pada serikat dagang itu kita bisa ikut kapal mereka,” tambahnya. “Menurut orang yang aku temui kapal dagang negeri Dirga akan menuju tanah Bali.”
“Inikah keberuntungan itu.” Sandanu terkekeh. “Kalau begitu ayo kita ke sana.”