Sebagai kapal perdagangan, mengejar waktu adalah hal yang lumrah. Setelah selesai urusan di satu tempat, maka akan melanjutkan pelayarannya menuju tempat lain untuk memperoleh banyak keuntungan sepulangnya nanti. Meskipun tujuan awal dari tanah Bima adalah menuju tanah Madura, namun kapal pinisi yang dipimpin Eran akan berlabuh di tanah Bali untuk mengantarkan rombongan Sandanu.
Pelayaran dari tanah Bima dimulai malam hari dan direncanakan akan tiba di tanah Bali ketika fazar menyingsing. Lentera-lentera dinyalakan menerangi gagahnya kapal pinisi yang dimiliki negeri Dirga dan tidak berhak ditiru oleh negeri lain sebab jenis kapal menjadi identitas negeri asal dalam dunia pelayaran di laut.
Malam itu terlihat, Galigo bersama Mutia bernostalgia di dek kapal tempat keduanya menjalin hubungan asmara, sementara itu di dek atasnya berdiri We Cudai memandang kemesraan keduanya.
“Apa kamu masih mencintainya?” Tanya Eran yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
We Cudai melukiskan senyuman. “Mengapa harus cemburu pada mereka, sedangkan kini telah ada lelaki lain yang selalu berdiri di sampingku dalam suka dan duka.”
Eran menyentuh belakang kepala We Cudai dan seketika mencium keningnya. “Aku mencintaimu bahkan melebihi hembusan angin yang membentangkan layar-layar kapal dan air di seluruh samudra.”
“Dan aku beruntung mendapatkan cintamu seperti malam disirami purnama.”
Dan saat itu, langit malam sungguh terang bulan oleh sempurna purnama. Di kejauhan nyanyian lumba-lumba terdengar menambahkan syahdu suasana dalam dekapan asmara. Di lain sisi, ternyata Galigo berhasil menyaksikan sendiri bahwa keberuntungan itu telah We Cudai miliki dalam pelukan sahabatnya, Era Paerunan.
Di samping Galigo, Mutia merangkul lengan lelaki tampan itu dan bersandar di tubuhnya. “Sekarang kamu hanya akan menjadi milikku seorang.”
Di antara sinar lentera yang menari menghiasi pinisi dan hembusan angin yang menggerakkan badan kapal tersebut, Galigo menyentuh lembut dagu Mutia untuk mendekatkan wajahnya dan seketika sebuah ciuman hangat membuat purnama cemburu menyaksikan cinta mereka.
Selanjutnya, Galigo dan Mutia duduk berdua menikmati malam dengan hangatnya kopi. “Ngomong-ngomong, kamu pernah ke tanah Bali,” ucap Mutia. “Apa ada seseorang yang kamu kenal di sana?”
Galigo mencoba mengingat seseorang. “Mmm.. ada, bahkan kami sempat mencuri bersama.”
“Apa dia yang mengajarimu kekuatan sastra?” Mutia ingat pernyataan Baruna Intcjeh di tanah Asmat yang memiliki jenis kekuatan sastra yang sama digunakan oleh Galigo.
Galigo terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”
“Nona Intcjeh yang mengatakan bahwa seorang murid di kapalnya melarikan diri dan dialah yang mungkin mengajarimu kekuatan tersebut.” Mutia pun penasaran mengenai orang itu. “Apa benar dia seorang perempuan?”
“Dia memang perempuan.” Itu adalah peristiwa sebelum Galigo pergi ke negeri Tirta dan bertemu Mutia. Galigo bertemu dengannya di tanah Bali saat diadakan festival memasak makanan terenak di dunia hingga berhasil mencuri resep masakan rendang dari Datuak Marunggul. “Aku sempat tinggal bersamanya dan dia mengajarkan pengendalian elemen udara yang lembut, aku tidak tahu kalau dia murid Baruna Intcjeh.”
“Kenapa kamu tinggal bersamanya?” Mutia terlihat cemburu. “Apa karena dia cantik?”