Di depan pintu gerbang timur, Mutia dan yang lainnya mengantarkan kepergian Sandanu yang ikut Centini menuju candi Prambanan. “Hati-hati Sandanu,” ucap Mutia.
“Aku pasti kembali,” balas Sandanu. “Apa pun yang terjadi nanti, akan aku ceritakan semua.”
Di sana, Centini telah duduk di atas kereta yang siap mengantarkan mereka melewati terowongan menuju seribu candi, nama lain dari candi Prambanan. “Sebelum matahari setinggi tombak, lebih baik kita telah sampai di sana!”
“Baiklah!” sahut Sandanu langsung mendekati Centini. Ketika kereta mulai ditarik, Sandanu menoleh ke belakang. “Sampai nanti.”
Terowongan panjang di gerbang timur tidak berbeda seperti yang Sandanu lewati di gerbang barat, nyala damar menjadi penerang di sepanjang terowongan hingga akhirnya komplek candi Prambanan terlihat di ujung terowongan. Setelah itu, kereta yang mengantarkan mereka kembali ke kota Mataram dan akan menjemput keesokan harinya.
“Luar biasa.” Sandanu terpana melihat kemegahan candi Prambanan yang menjulang tinggi bagaikan menara istana namun terbuat dari tumpukan batu yang terukir relief-relief mengagumkan.
Candi Prambanan sendiri dikelilingi hutan lebat yang membuat keberadaannya tersembunyi dari keramaian. Entah bagaimana candi ini tercipta, Centini mengatakan bahwa komplek candi Prambanan telah ada sejak zaman Saka dan telah ditinggalkan oleh penduduknya.
Di antara ratusan candi yang berjajar, terlihat tiga candi besar yang paling tinggi dan dipastikan ada di pusat komplek percandian. Sebelumnya, hanya Sabdadev pertama yang pernah memasuki pusat candi Prambanan.
“Di candi ini ada banyak jebakan hingga tidak ada orang yang berhasil memasuki candi yang konon dijaga seorang resi dan perempuan yang dikutuk menjadi arca sebagai penggenap seribu Candi.” Centini menceritakan terlebih dulu mengenai candi Prambanan kepada Sandanu.
“Lalu di mana arca perempuan itu?”
“Di tengah komplek candi,” jawab Centini. “Sekarang tugasmu menaklukkan jebakan agar kita sampai di sana.”
Jebakan yang dimaksud adalah sebuah segel sastra yang akan aktif jika ada objek asing memasuki komplek candi Prambanan. Sesaat mereka memasuki gapura candi, sebuah tombak muncul menghadang langkah mereka dan Sandanu dengan cekatan menangkis tombak tersebut hingga mematahkannya.
Seluruh bangunan candi memiliki konsep kosmologi yang terbagi atas tiga lapisan alam yaitu Bhurloka, Bwahloka, dan Swahloka. Bhurloka yang menjadi lapisan pertama memiliki bentuk candi berundak yang pendek. Beberapa jebakan membangkitkan patung-patung yang berdiri di sekeliling candi seperti sekelompok serdadu.
“Kekuatan sastra apa ini?” tanya Sandanu sambil menghadapi patung-patung batu yang menghadangnya.
Centini yang juga ikut bertempur melawan patung-patung batu di lapisan Bhurloka menjawab pertanyaan Sandanu. “Sebagai ronggeng, aku hanya diberitahukan bahwa jebakan di candi ini merupakan segel kekuatan sastra kuno yang entah bagaimana cara kerjanya, selama kita bisa menghancurkan prajurit patung ini kita bisa memasuki zona candi lebih dalam.
Entah berapa deretan candi telah berhasil Sandanu dan Centini lewati, selama ini yang mereka hadapi hanya prajurit patung dengan senjata kampak batu yang digunakannya. Hingga di ujung lapisan Bhurloka, mereka menyeberangi parit untuk memasuki lapisan Bwahloka.
“Ini lapisan area candi kedua, kemungkinan jebakan di zona ini lebih berbahaya,” ucap Centini.
Jika lapisan Bhurloka merupakan alam mahluk fana yang dijaga oleh prajurit manusia, di zona kedua mereka menghadapi beberapa jenis roh binatang suci yang mampu mengeluarkan kekuatan elemen alam. Ada ular, kera, harimau, gajah bahkan naga. Binatang-binatang suci mengeluarkan kekuatan elemen sastra tersebut cukup merepotkan.