Setelah melewati jebakan dan menaklukkan Roro Jonggrang hingga membuka gerbang suci candi Prambanan, Sandanu dan Centini yang masih ditemani oleh Malin memasuki area candi utama. Dari ketiga candi agung, mereka memasuki candi paling tengah untuk menemui seorang resi yang akan mengungkapkan sebuah ajaran.
Setelah tugasnya selesai, akhirnya Roro Jonggrang terbebas dari kutukan Bondowoso dan segel suci. Dia sendiri pergi bebas ke mana pun tujuannya sampai mampu memasuki dunia khayangan karena mendapatkan keberkahan ibu Pertiwi akibat segel suci dengan menjadi manusia abadi dengan kecantikan yang tidak tertandingi.
Di dalam candi utama terdapat sebuah pintu gerbang yang sepanjang dindingnya terukir relief-relief agung kehidupan di Swargaloka dahulu. Dan saat itu, Malin Kundang bercerita bahwa kehidupan di Swargaloka sama halnya seperti di dunia yang membedakannya bahwa segala mahluk bisa berbaur menjadi satu tanpa adanya sekat dimensi seperti saat ini.
“Apa semua manusia yang berasal dari Swargaloka berubah menjadi mahluk astral generasi kedua?” tanya Centini.
Malin berjalan tanpa melebarkan sayapnya. “Sebagian besar manusia dari Swargaloka menjadi mangsa oleh iblis sedangkan yang hidup, mereka memiliki keabadian yang tidak termakan oleh waktu seperti Roro Jonggrang namun entah ke mana hilangnya manusia yang selamat dari iblis dan mendapatkan kutukan.”
“Mungkinkah ada dimensi lain bagi manusia yang sebelumnya hidup di Swargaloka?” ucap Sandanu. “Dulu putri Rheina sempat mengungkapkan mengenai dimensi alam semesta antar mahluk yang terdapat di kitab pusaka.”
“Tapi, kami di dunia astral sendiri tidak menemukan jejak kepergian manusia abadi yang dulu hidup di Swargaloka,” ujar Malin. “Tapi di belahan dunia terdapat sebuah benua besar yang dihuni tiga bangsa.”
“Tiga bangsa di benua besar?” tanya Centini. “Apa mereka manusia?”
“Bukan!” jawab Malin sesaat mereka berhasil melewati lorong dan mendapatkan sebuah ruangan besar yang diterangi oleh patung-patung yang memegang sebuah penerang.
“Selamat datang anak manusia!” ucap seorang resi. “Selamat datang di Swahloka.”
Sandanu, Centini dan Malin memberikan hormat. “Salam resi!”
Resi guru yang sebelumnya juga disebutkan oleh Roro Jonggrang akan mereka temui seorang lelaki yang buruk rupanya. Memiliki tubuh yang pendek dan kecil, berambut keriting, berkulit kasar. Bermata kera, alisnya tebal dan hidungnya pesek. Mulutnya maju, giginya gingsul besar, berbibir tebal warna biru dengan janggut melebar jelek. Pipinya kempot, telinganya caplang, sedangkan lehernya besar dan pendek.
Resi itu memiliki pundak yang lusuh, tangan yang pendek dan bengkok dengan jari jemari tidak rapih. Dadanya kempis, perutnya buncit dengan pantat menonjol. Lututnya kecil dan berjalan mengangkang. Kulit tubuhnya seolah bersisik dengan warna yang tidak sedap dipandang. Saat bernafas suaranya berat dan tersengal-sengal.
“Akulah Gatholoco gambaran buruk alam semesta yang menyimpan segala rahasia.”
“Tidak mungkin!” ucap Malin Kundang terkajut melihat sosok sang resi yang begitu buruk.
Gatholoco memandang kerbau raksasa di depannya. “Sugguh rendahnya manusia penghuni Swargaloka, tidak hanya menjadi buruk rupa tapi ada juga yang menjelma menjadi mahluk astral.”
Melihat sosok Gatholoco membuat Centini bergidik, tapi Sandanu berusaha untuk menghormatinya. “Apa yang membuat sang resi berpenampilan begitu?”
“Alam semesta begitu hina penuh kekacauan dan wujudku adalah gambaran dari apa yang kini terjadi di alam semesta karena ulah makhluk-makhluknya, namun keberkahan Tuhan memberikan segala rahasia dan pengetahuan yang kini disimpan pada sosok manusia terburuk.”
Ketika Gatholoco berbicara, bau nafasnya membuat Centini tiba-tiba muntah tidak tahan. “Aku lebih baik undur diri!”
“Malin temani dia, biar aku saja yang berbicara dengan sang resi,” ujar Sandanu.
Kemudian, Malin Kundang menemani Centini keluar dari bangunan candi untuk menunggu Sandanu berbicara dengan Gatholoco. Sang resi sendiri mengajak Sandanu duduk ke sebuah batu bundar tempatnya bertapa seajak dunia diciptakan.
Suatu keajaiban tiba-tiba terjadi ketika Sandanu menginjakan kaki di atas batu bundar pipih itu. Wujud buruk rupa Gatholoco berubah menjadi lelaki muda yang tampan seakan tiada yang menandingi ketampanannya.
“Apakah Roro Jonggrang telah pergi?” tanya Gatholoco, sungguh jika gerbang suci candi Prambanan terbuka maka apa yang telah dinantikan telah tiba.