GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #176

S4. Deklarasi Perang

Dalam perjalanannya menuju tanah Samin, Centini teringat masa kecilnya. Mengenai kekurangannya, teman-temannya dan bahkan masa-masa bersama Galigo tinggal bersama di desa pesisir pantai namun juga di bawah kaki pegunungan. Mengingat hal itu, Centini tidak ikhlas jika kampung halamannya akan menjadi medan perang, dia pun menangis.

Dua hari kemudian, Centini pun memasuki tanah Samin dan menuju daerah pesisir pantai ke desa Tembeyat. Desa kecil di bawah kaki bukit yang langsung menghadap ke arah pantai. Di depan desa seorang nenek yang menggendong kayu bakar melihat kedatangan Centini yang menaiki kuda berwarna coklat.

“Centini?” Nenek itu menjatuhkan kayu bakarnya dan berlari memanggil orang-orang. Nenek itu sangat mengenal Centini dan kedatangannya langsung disambut banyak orang di depan desa.

Sesampainya di hadapan penduduk desa Tembeyat, Centini turun dari atas kuda memandang haru orang-orang yang masih bersedia menyambut kedatangannya. “Aku pulang!”

Centini berlari merangkul nenek yang pertama kali melihatnya dan orang-orang pun berkerumun. Mereka lega bahwa Centini baik-baik saja dan tumbuh sebagai gadis yang sangat cantik seperti putri raja.

Memasuki desa Tembeyat, Centini merasakan suasana yang tidak jauh berbeda. Rumah-rumah kampung menjadi ciri khas penduduk desa yang menghadap pantai. Gemuruh ombak terdengar, sedangkan di sela-sela rumah penduduk terlihat sawah telah menguning di bawah kaki bukit.

Kemudian, Centini pun disambut di pendopo milik kepala desa dan segala hidangan yang ada disuguhkan. Centini pun bercerita bahwa dirinya hidup dengan layak sebagai ronggeng di istana Mataram. Orang-orang pun bangga mendengarnya.

Tidak lupa, Centini pun membawa banyak uang untuk dibagikan kepada penduduk desa. Semua orang mendapatkan dua benggol dan anak-anak mendapatkan lima ketip. Semua pun sangat bahagia.

“Kenapa sekian lama kamu pergi tanpa memberikan kabar bahwa hidupmu baik-baik saja?” tanya kepala desa, Ki Sobir.

Centini menyesal meskipun keputusan kepergiannya dulu tidak untuk kembali lagi ke desa ini. “Maafkan saya Ki, tapi kedatangan saya ke sini membawa kabar buruk.”

Orang-orang yang mendengar segera terpaku, kabar buruk apa yang akan menimpa mereka. Centini memperhatikan senyum orang-orang yang memudar. “Maafkan aku! Berdasarkan keputusan Sabdadev, desa ini akan menjadi pangkalan militer, dan perang besar akan terjadi.”

Tiba-tiba dari arah luar desa sebuah ringkikkan kuda mengagetkan orang-orang, Centini tidak menduga bahwa Galigo telah mengejarnya. Semua orang pun makin kebingungan. “Centini.” Galigo mendekati Centini.

“Kenapa kamu mengikutiku?”

“Apapun yang terjadi kita akan menyelamatkan desa ini bersama,” jawab Galigo.

Galigo pun menjelaskan apa yang disampaikan Centini kepada penduduk desa dan menyarankan semuanya untuk segera mengungsi ke kota. Meskipun demikian, ada pula orang yang akan mempertahankan kampung halamannya membuat yang lainnya pun memutuskan untuk tetap tinggal.

“Kenapa negeri yang berperang tapi rakyat kecil yang menjadi sasaran?” ucap nenek Ruyah yang tadi menggendong kayu bakar.

Orang-orang yang berkerumun, tanpa disadari disaksikan oleh sepasang mata yang sebenarnya telah ada di sana sebelum kedatangan Centini. Seseorang yang mengenakan jubah penutup kepala yang datang ke desa tersebut semalam. Orang itu duduk di sebuah teras rumah milik warga dan telah menginap semalam di sana.

Lalu, orang tersebut berjalan ke arah kerumunan. “Setelah apa yang aku saksikan, aku memutuskan bahwa tujuan Arakar akan merebut kota Mataram daripada menyerang melalui desa kecil ini.”

Galigo yang mengenal suara perempuan itu terkejut, bahkan saat perempuan itu membuka penutup kepalanya, Galigo mengenali dia. “Libra?”

Lihat selengkapnya