Di desa Tembeyat, Galigo dan Centini akan kembali ke tanah Jawa karena ada urusan yang harus mereka selesaikan sekaligus bersama rombongan petani yang akan menuju pusat tanah Samin untuk menjual hasil panennya. Sebelumnya mereka ikut membantu penduduk desa memanen padi di sawah.
Tanah Samin merupakan tanah negeri sebelah utara yang berbatasan langsung dengan tanah Jawa. Tidak seperti penduduk desa di luar, masyarakat tanah Samin membangun rumah joglo untuk membedakan status mereka. Bahkan rumah joglo sendiri memiliki berbagai jenis berdasarkan kelas atau golongan sesuai tatanan masyarakat tanah Samin. Pada dasarnya rumah joglo terdiri dari dua bagian yaitu bangunan utama dan bangunan tambahan.
Suasana di tanah Samin saat itu cukup tegang karena ada berita bahwa istana Mataram telah diserang oleh Arakar, para warga khawatir bahwa penyerangan itu sampai tanah Samin. Mendengar kabar tersebut, Galigo dan Centini bergegas kembali ke Mataram.
“Aku memanggil Sawerigading untuk mempercepat perjalanan kita,” ucap Galigo setelah menggunakan kekuatan syairnya memanggil naga tersebut. “Ayo naik!”
Centini merasa kagum melihat kemajuan Galigo yang bahkan memiliki roh panggilan dari batu akiknya. “Baiklah!” Centini meraih tangan Galigo dan duduk di belakangnya di atas naga Sawerigading.
Kemudian, Galigo menyuruh naga tersebut melesat secepatnya menuju tanah Jawa. Dari kejauhan, serangan Arakar mulai terlihat sebab kilatan-kilatan batu akik menghiasi langit Mataram. Karena menggunakan jasa Sawerigading, mereka tiba untuk memasuki kota Mataram dari atas.
Sebelum memasuki kota Mataram, Sawerigading berhenti seakan ada penghalang. “Ada apa?” tanya Centini.
“Sepertinya Sawerigading tidak bisa memasuki kota,” jawab Galigo, lalu mereka turun di atas bukit batu sementara Sawerigading kembali ke dunia roh batu akik.
Centini yang penasaran mencoba memastikan sesuatu. “Batu Lazuli bersinar..,” Bros batu akik berwarna biru mengeluarkan cahaya dari genggaman tangannya. “Tembus pandang! Seketika pupil Centini berubah seperti mata elang, dan dirinya bisa melihat kekuatan sastra yang samar.
“Bagaimana?” tanya Galigo penasaran.
Centini melihat kubah sastra dari aksara Bali. “Kota Mataram diselubungi kekuatan sastra yang menyerap kehidupan orang-orang dan disalurkan kembali ke orang yang mengenakan jubah seperti perempuan yang kita temui di desa Tembeyat.”
“Arakar?” Ucap Galigo. “Apa kamu menemukan pengendali kekuatan sastra rahasia itu?”
Centini menyisir bukit batu untuk menemukan pengguna sastra rahasia yang menyelimuti kota dan dia berhasil menemukan perempuan yang dikenalnya di antara celah bebatuan. “Dia di sana! Wanita yang kita temui di desa.” Centini menunjuk arah Libra dan dia melihat wanita tersebut menoleh padanya.
Centini segera melepaskan mantra tersebut, dan sesaat Libra keluar dari celah batu yang jaraknya cukup jauh namun karena tidak ada penghalang mereka bisa saling pandang. Centini menggenggam telapak tangan Galigo seakan memberitahukan bahwa dirinya perlu perlindungan.
Galigo pun meremas tangan Centini dan mengajaknya mendekati Libra. “Kita harus menghadapinya!”
Dari kejauhan Libra memperhatikan mereka yang mendekatinya. “Aku pikir kalian tidak akan kembali ke sini, bukankah di sana lebih aman?” ucap Libra ketika kedua orang itu di hadapannya.
“Tentu kami kembali, karena tidak akan kami biarkan Arakar menghancurkan kota ini dan menguasai dunia,” balas Galigo.
“Baiklah, aku akan layani kalian sampai menyerah.” Libra tersenyum santai.