Seperti halnya penduduk di seluruh tanah negeri dari lima negeri besar yang memanjatkan doa melalui ajaran yang dianutnya masing-masing agar Mapralaya berakhir dengan kemenangan bagi umat manusia, masyarakat tanah Tengger pun masih terjaga untuk memanjatkan puja-puja kepada para Dewa meskipun waktu telah mencapai tengah malam.
Tanah Tengger terletak di gunung Bromo yang cukup tandus dan kering meskipun tumbuh banyak bunga edelweis di beberapa area yang menyebar. Penduduknya membangun rumah ranupane yang tidak bertingkat dan memiliki bubungan tinggi dengan atap dari bambu yang dibelah. Rumah mereka dibangun dalam jarak dekat untuk menghalau angin dengan dinding kayu papan dan hanya memiliki dua pasang jendela di kedua samping pintunya.
Setiap rumah ranupane terdapat bale-bale dengan perapian untuk menghangatkan diri dari cuaca gunung yang dingin. Meskipun saat ini angin berhembus cukup kencang, penduduk tanah Tengger masih memanjatkan doa demi kemenangan dalam Mapralaya. Angin yang berhembus seakan menerbangkan asap-asap kemenyan sebagai bagian dari ritual dalam memanjatkan doa yang mengarah ke gunung Semeru.
Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di pulau Jawa, diyakini masyarakat Tengger sebagai tangga menuju dunia khayangan yang disucikan tempat pijakan para Dewa turun ke dunia.
Di samping penduduk tanah Tengger yang memanjatkan doa dipimipin langsung oleh ketua suku, di dalam keraton Singasari menjadi tempat peristirahatan Pancadev yang dikirim oleh Bolawambona atas perintah Cakradev Nuku agar mundur dari medan perang.
Pitung yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi Pancadev, ditemani oleh Raden Gugur yang merupakan seorang dewan dari negeri Sabda. “Sejak kapan masyarakat melakukan ritual hingga larut malam seperti ini tidak juga selesai?” tanya Pitung.
Raden Gugur yang menjadi lawan bicaranya menjawab, “Sejak pagi hari, mungkin saat Mapralaya dimulai! Kami mempercayai jika doa panjang dipanjatkan maka Dewa akan turun ke dunia untuk membantu umat manusia.”
Di tengah malam yang khidmat dalam lantunan doa dari ritual yang dilakukan penduduk tanah Tengger, puja-puji mengalun membuat suasana berselimut ketenangan mistik yang membuat bulu kuduk merinding bagi yang tidak pernah mendengarnya. Tiba-tiba gunung Semeru yang menjulang tinggi menampakkan kegagahannya dari tanah Tengger, mengeluarkan lava pijar menembus langit malam.
Pancadev yang melihat letusan gunung Semeru dari keraton Singasari penasaran untuk melihat ke pelataran keraton. “Apa yang sedang terjadi? Ini berbahaya,” ucap Dharadev Guan.
Raden Gugur yang mengikuti Pancadev keluar bersama Pitung menanggapi. “Tidak, tapi ini adalah wujud bahwa para Dewa mendengar doa kami dan lava pijar gunung Semeru diyakini sebagai terbukanya tangga dari khayangan dan Dewa akan turun ke dunia.”
“Dewa mana yang bersedia turun ke dunia,” sahut Dirgadev Manurung, sebagai Annunaki yang tahu perjanjian dunia khayangan untuk tidak turun ke dunia. “Mereka akan melanggar sumpah khayangan.”
“Bagaimana jika para Dewa Agung yang turun ke dunia?” ujar Sabdadev Lingga, dia yakin dalam kondisi manusia yang berperang melawan sang Suwung, Dewa tidak akan tinggal diam melihat ini semua.
***
Sebelum gunung Semeru meletus, di puncak tertingginya yaitu Mahameru menyambut kedatangan Sandanu dan teman-temannya. Mereka berada di sana karena Libra yang melakukan teleportasi agar mereka mencapai puncak yang dianggap sebagai tangga menuju dunia khayangan.