Di tengah kerumunan penduduk tanah Tengger yang sedang melakukan ritual doa bersama, dari atas langit sebelah barat melesat cahaya bagaikan meteor yang jatuh, terang benderang menggegerkan orang-orang. Mereka yang bersila dengan khusu langsung berdiri memandang cahaya itu datang mendeket. Ternyata cahaya terang itu, makin dekat terlihat sebuah anak panah yang tepat mendarat di depan Pancadev ketika masih berdiri memandang arah Semeru yang membara.
Anak panah itu adalah pesan dari Sagitarius yang mengabarkan keadaan di Mataram. Diambilnya anak panah tersebut oleh Dharadev Guan, dan dibacakan pesan itu di depan banyak orang. “Mapralaya telah berakhir dan lima negeri besar menang melawan pasukan iblis.”
Kabar baik itu disambut gembira oleh penduduk tanah Tengger yang mendengarnya, mereka pun mengucapkan syukur penuh haru sambil bersujud ke arah gunung Semeru. Doa telah dikabulkan, bahwa dewata telah turun memberikan pertolongan.
Di dalam pesan itu dinyatakan bahwa perang melawan pasukan iblis berhasil ketika bantuan dewa datang dalam wujud kekuatan Durga melalui Roro Jonggrang, kekuatan yang berasal dari sepuluh tangan Dewata.
“Apakah sang Suwung berhasil dikalahkan?” tanya Dirgadev Manurung.
Dharadev Guan yang melihat kebahagiaan penduduk tanah Tengger, mengulas senyum dan meminta Pancadev untuk masuk ke dalam keraton Singasari. Barulah dia memberitahukan bahwa dalam pesan yang diduga dari Sagitarius itu tidak mengabarkan mengenai kekalahan sang Suwung. Tidak pula mengenai detail siapa yang gugur, dan bagaimana nasib Sandanu beserta teman-temannnya ataupun Arakar yang sebelumnya Pancadev ketahui menghadapi sang Suwung di dalam istana Galuh.
Pesan yang hanya mengabarkan kemenangan melawan pasukan iblis karena pertolongan Dewata turun ke dunia, masih memberikan kekhawatiran yang terlihat jelas di raut Tirtadev Kandis. “Kita harus memastikan keadaan di sana?” Tirtadev itu mengkhawatirkan lelaki yang dicintainya, Tian Malaka.
“Kita tidak punya armada untuk menuju tanah Jawa,” sahut Karradev Janggi.
Sabdadev Lingga menatap anggota dewan negeri Sabda yang juga berasal di sana. “Apa kamu bisa membantu, Raden Gugur!”
“Aku akan mencobanya,” balas Raden Gugur.
Kemudian Pancadev beserta pengawalnya kembali ke pelataran keraton Singasari dan Pitung sendiri setuju untuk ikut memastikan keadaan di Mataram. Pancadev pun berpamitan kepada ketua suku tanah Tengger untuk segera kembali ke tanah Jawa.
Meskipun ketua suku tahu bahwa saat itu masih larut bahkan fazar belum menyingsing, tapi dia tidak mungkin mencoba mencegah keputusan para pemimpin lima negeri besar. Ketua suku mempersilakan mereka semua dan mendoakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Raden Gugur yang diminta mempersiapkan armada untuk perjalanan itu, menggunakan kekuatan khodamnya dari roh bintang kereta perang. “AURIGA”
Dengan kekuatan roh bintang Auriga, Raden Gugur memanggil armada yang muncul di atas pelataran keraton Singasari. Armada perang itu adalah sebuah pesawat udara berlapis emas dengan bentuk pipih dan memiliki sayap di bagian sisinya yang mengerucut. Di bawah pesawat itu mengeluarkan cahaya yang menghisap Pancadev besarta pengawalnya dan juga Pitung termasuk Raden Gugur sendiri sebagai pengendali pesawat tempur tersebut.
Selanjutnya, pesawat tempur itu melesat dengan kecepatan tinggi hingga saat orang-orang menengok ke arah terbangnya, pesawat itu sudah tidak terlihat lagi. Pesawat tempur yang bernama vimana melewati tanah Osing dan sampai di tanah Jawa, tepatnya di Mataram ketika naga Besakih menghancurkan atap istana Galuh dan mengejar Sandanu.
“Perang belum berakhir,” ucap Raden Gugur. “Ada ular naga di atas langit Mataram yang menyemburkan api hitam.”
Semburan api hitam naga Besakih juga hampir mengenai vimana yang baru saja tiba dari arah timur. Di dalam vimana, Pancadev bisa menyaksikan naga Besakih yang mengejar Malin Kundang, itu artinya Sandanu sedang bertempur.
“Apa kamu bisa melakukan serangan?” tanya Sabdadev Lingga pada Raden Gugur.