Meskipun negeri Sabda baru saja mengalami hal buruk akibat peristiwa Mapralaya yang berlangsung di pusat pemerintahan, tanah Jawa. Hal tersebut tidak berdampak langsung bagi masyarakat di tanah Betawi karena bukan termasuk tanah negeri penopang yang berbatasan langsung dengan tanah Jawa. Saat ini, negeri Sabda pun sudah berbenah dan menggeser pusat negeri dari Mataram ke Majapahit.
Tanah Betawi sendiri terletak di pesisir utara pulau Jawa yang berbatasan dengan tanah Sunda sebelah timur dan tanah Badui di sebelah barat. Di bandingkan kedua tanah negeri yang mengapitnya, tanah Betawi memiliki luas yang lebih kecil di pesisir utara namun cukup ramai sebagai tempat pelabuhan kapal dagang dan sempat menjadi tempat persandaran kapal-kapal perompak selama Mapralaya, di wilayah kepulauan seribu sebelah utaranya. Sebagai tanah negeri di bawah kekuasaan negeri Sabda, tanah Betawi dipimpin oleh ketua suku yang bertempat di keraton Tarumanagara.
Sebagian besar penduduk tanah Betawi tinggal di wilayah pesisir utara sebagai nelayan dan pedagang-pedagang besar yang membangun tempat tinggal dengan arsitektur rumah kebaya panggung yang terbuat dari kayu sebagai dinding dan memiliki atap yang berlipat-lipat dengan ornamen jurai dan perisai. Letak keraton Tarumanagara berada di tengah kota menghadap alun-alun Fatahila yang bagian tengah berdiri sebuah tugu ondel-ondel. Sementara bagian selatan merupakan hutan lindung perbatasan tanah negeri.
Di tengah keramaian tanah Betawi yang saat itu menjadi gerbang masuk bantuan akibat Mapralaya dari berbagai tanah negeri untuk negeri Sabda, ada sebuah rumah singgah keluarga keraton di tengah hutan bakau bagian timur. Terlihat di teras rumah singgah yang dikelilingi pagar itu berdiri seorang lelaki muda mengenakan baju sadaria dari celana batik dan atasan lengan panjang berwarna putih yang dilengkapi kain cukin di bajunya dan sebuah peci hitam sebagai penutup kepala menghadap rimbunnya hutan bakau.
Sementara itu, belakangnya duduk lelaki paruh baya di kursi bale-bale dari rotan mengenakan baju pangsi warna hitam dengan dalaman kaos putih dan peci warna merah. Orang tua itu memegang secangkir kopi yang sesekali menyeruputnya sambil memperhatikan anak bujangnya yang terlihat merenung.
"Ape lagi yang dipikirin?" tanya ketua suku tanah Betawi. "Tatanan dunia udeh berubah, lima negeri besar udeh nyatu. Ape elu mau pergi lagi ninggalin babeh yang udeh tue gini, Pitung?"
Tuan Pitung, anak dari ketua suku tanah Betawi itu merupakan satu dari dua anggota elite Organisasi Perdamaian Dunia atau OPD yang tersisa akibat Mapralaya. Kini organisasi bebas aktif tersebut sudah tiada, bahkan markas besar Nusakambangan telah hancur tidak bersisa akibat serangan Arakar. Tujuan Organisasi Perdamaian Dunia yang ingin menyatukan lima negeri besar pun telah terwujud akibat adanya ancaman teror dari Arakar. Setelah berakhirnya Mapralaya, lima negeri besar pun sepakat bekerja sama untuk melindungi umat manusia dari ancaman lain yaitu bangsa penghuni benua besar yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Untuk menanggapi ayahnya, Pitung menoleh kepada ayahnya yang sedang menyeruput kopi hangat di sore itu. "Sekalipun lima negeri besar bersatu, dunia ini masih belum aman beh!"
"Selama kehidupan umat manusia berlangsung, kaga ade yang aman di dunia ini. Ketika ade sebuah perdamaian bakalan ade namenye peperangan suatu saat nanti, bahkan ketika ade kebaikan, kejahatan pun masih bise terjadi," balas ketua suku. "Ape elu belum cukup lelah setelah semuenye terjadi?"
Sebagai seorang ayah, ketua suku tanah Betawi hanya ingin yang terbaik untuk anaknya dan sebisa mungkin melindungi dia, tapi jika anaknya tidak pernah ada di sisinya tentu dirinya tidak bisa mengawasi anaknya untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.
"Dari dulu, babeh udeh ngerti ke mane arah tujuan hidup aye, ape babeh kaga percaye kalo anak babeh entu cukup kuat buat bertahan hidup?"