Keraton Tarumanagara yang sepi malam itu kedatangan dua utusan maharaja Nusantara yang datang melaksanakan perintah, mereka pun disambut hangat oleh ketua suku tanah Betawi yang tidak tahu apa tujuan pemuda terkuat di negeri Sabda mengunjungi kediamannya. Mereka adalah Nakula dan Sadewa yang dijuluki Dwitanaka.
Kedua pemuda itu merupakan anak kembar yang memiliki kemiripan serupa hanya saja pembedanya dari penampilan keduanya. Nakula mengenakan baju jawi jangkep berwarna serba hitam dengan corak putih mulai blangkon di kepala sampai kain jariknya yang menghias menutupi celana panjang dari pinggang sampai atas lutut, sementara Sadewa mengenakan pakaian serba putih dengan corak hitam. Begitu pula alas kaki yang digunakan senada dengan warna pakaian masing-masing.
"Mohon maaf ketua suku tanah Betawi atas kedatangan kami yang mendadak dan selarut ini," ucap Nakula yang dianggap sebagai sang kaka. "Kami diutus oleh maharaja Nusantara untuk menjemput tuan Pitung!"
"Ada urusan apa gerangan dengan putra saya?" tanya ketua suku tanah Betawi.
"Kami berdua tidak tahu menahu permasalahannya, kami mohon ketua suku memberi izin!"
"Jika itu perintah, maka silakan dan akan saya panggilkan Pitung!"
Belum beranjak ketua suku untuk memanggil putranya, seorang abdi keraton berlari dan menyampaikan kabar. "Mohon maaf ketua suku, tuan Pitung dan Baruna Renggi telah pergi meninggalkan keraton dari pintu belakang setelah seorang wanita datang secara sembunyi-sembunyi."
"Centhini?" ucap Sadewa.
"Mohon maaf ketua suku, kami akan segera mengejar tuan Pitung!" Segera kedua pemuda itu bergegas mengejar Pitung dan menerobos keraton untuk memastikan lewat pintu belakang.
Ketua suku tanah Betawi tidak bisa mencegah keduanya yang langsung menerobos wilayah keraton tanpa seizinnya. Beliau tidak tahu apa yang diinginkan dari putranya tersebut. Akan tetapi, ketua suku menduga bahwa ini ada hubungannya dengan latar belakang putranya yang mantan anggota elite Organisasi Perdamaian Dunia.
Sementara itu, Nakula dan Sadewa berhasil melewati ruangan keraton untuk menuju bagian belakang sebab tidak ada penjaga keraton Tarumanagara yang berani berhadapan dengan Dwitanaka di negeri Sabda.
Di depan gerbang pintu belakang keraton, Nakula menggunakan kemampuan sastra tingkat mantra yang menghasilkan cahaya berbentuk lingkaran memancar untuk mencari arah pelarian Pitung. Kemampuan mantranya itu, menciptakan pandangan bagi Nakula sehingga segala penghalang baik bangunan ataupun benda lain bisa ditebus untuk menemukan target.
"Mereka menuju arah barat daya!" kata Nakula.
Kedua pemuda itu pun menggunakan kemampuan mantra masing-masing yang menghasilkan sebuah cahaya di telapak kaki keduanya. Bedanya, jika Nakula berbentuk lingkaran, maka Sadewa berbentuk segitiga. Selanjutnya, keduanya pun melesat mengejar target dengan kemampuan tersebut yang menghasilkan cahaya yang mendorong laju keduanya di udara.
Gerakan mereka pun terbilang lincah menghindari rumah-rumah penduduk sebelum akhirnya mengambil jalan di atas perumahan untuk memudahkan pengejaran. Targetnya pun terlihat berlarian di atas rumah-rumah penduduk tanah Betawi yang saat itu larut dalam tidur.