Kekhawatiran tetap ada, namun tidak bisa untuk memastikannya. Apapun yang terjadi, berharap gadis itu baik-baik saja. Pitung harus mempercayai kemampuan Centini menghadapi Dwitanaka yang menjadi lawannya agar dirinya bisa lolos dari pengejaran si kembar, Nakula dan Sadewa.
Mantan pemimpin putri ronggeng di istana Mataram itu, rela berlomba dengan Dwitanaka untuk menemui Pitung agar tidak ditanggap utusan maharaja Nusantara hingga Centini mengendap-endap memasuki keraton Tarumanegara larut malam. Kini, usaha Centini berhasil membuat Pitung jauh meninggalkan tanah Betawi bersama Renggi.
Tidak melalui jalan utama penghubung tanah negeri, Pitung mengajak Renggi memasuki area hutan agar tidak mudah ditemukan jika Dwitanaka berhasil mengalahkan Centini dan kembali mengejar. Mereka berdua menuju arah barat daya dari tanah Betawi untuk sampai ke tanah Badui.
Dengan kemampuan sastra mengendalikan batu akiknya, Pitung melesat di antara pepohonan hutan yang besar. Memusatkan aliran sastra di telapak kaki, dan ritme ketukan saat berpijak di antara batang pohon membuatnya mampu melesat secepat rambatan suara. Akan tetapi kemampuannya itu, tidak bisa mengalahkan kemampuan perompak dari Borneo, Renggi yang menjadi kawan seperjalanan malam tersebut.
"Bagaimana kamu bisa melesat lebih cepat dariku, sementara kamu tidak menggunakan kekuatan sastra dan mengendalikan batu akik," ungkap Pitung. "Apa benar dugaanku kalau kamu ras manusia kuno?"
Dengan santainya sambil memutar badan tanpa melihat arah depan, Renggi menatap Pitung. "Rumor memang menyebutkan bahwa ras manusia kuno yang hilang memiliki kemampuan spesial, tapi masalah kecepatan ini bagian dari kemampuan khusus yang dimiliki bangsaku."
"Bangsa?" Pitung curiga. "Apa kamu berasal dari benua besar?"
"Aku mahluk fana seperti halnya manusia dan raksasa," balas Renggi kemudian kembali menghadap depan.
Pitung belum sepenuhnya mengetahui dunia ini dan siapa saja yang hidup selain manusia, bahkan tentang raksasa yang dia dengar dalam kisah dongeng ternyata benar adanya. Mungkin saja ada dongeng mahluk lain yang tidak diingat Pitung yang ternyata Renggi adalah bukti dari keberadaannya.
Sejarah hanya menceritakan perjalanan umat manusia dari keturunan dua ras yang selamat akibat bencana banjir besar pada masa zaman saka menenggelamkan daratan Atlantis. Ras Melanes dan ras Malayan yang melahirkan beragam suku.
Manusia yang diyakini sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna justru harus menggunakan akal dan kemampuannya sendiri untuk bisa mengungkapkan segala misteri alam semesta, yang bisa dicapainya hingga menyamai kemampuan dewa. Akan tetapi, hawa nafsu menjadi kendala terbesar manusia dalam mengenali jati dirinya yang membuat manusia terperosok dan lebih rendah dari binatang.
Organisasi Perdamaian Dunia, menjadi tempat sebelumnya bagi Pitung untuk membuka mata memahami sejarah tidak sepenuhnya mengungkapkan rahasia yang tersimpan. Ibarat sebuah perjalanan yang terhalang kabut tebal membuat langkah bisa tersesat dari tujuan. Kini pun perjalanan Pitung menuju tanah Badui akan memasuki hutan Halimun yang berselimut kabut pekat.
"Apa yang terjadi ini, Pitung?" teriak Renggi yang berhenti di depan.
Pitung segera menyusul dan berdiri di batang pohon besar samping Renggi berdiri. "Hutan Halimun, kita sudah dekat tanah Badui."