Bencana banjir besar menenggelamkan daratan Atlantis hingga tercipta pulau-pulau dengan lima daratan besar yang mengelilingi lautan luas di tengahnya, kemudian lautan itu dibagi menjadi empat wilayah samudera. Dua ras manusia yang selamat merintis kehidupan di zaman Kegelapan secara perlahan menyebar di antara pulau-pulau hingga melahirkan beragam kelompok masyarakat kesukuan dengan budaya berbeda.
Para dewa yang tidak lagi menginjakan kakinya ke dunia menandakan berakhirnya zaman Saka, hanya kitab pusaka sebagai petunjuk manusia mengembangkan pengetahuan dan kekuatan sastra yang melahirkan para satria Jewel yang membangun peradaban di dalam sistem kepemimpinan.
Zaman Adidaya bangkit meninggalkan kehidupan nomaden dan melahirkan hierarki, status sosial dan politik. Salah satunya di daratan Java yang terbagi menjadi dua wilayah kepemimpinan di bawah sistem Karadenan di timur dan Kaprabuan di barat. Di tengah puncak kejayaan kedua sistem kepemimpinan itu harus runtuh, akibat mencoba menyatukan wilayah melalui ikatan pernikahan politik.
"Saya tahu bahwa Kaprabuan Sunda tidak pernah mencoba memperluas wilayah kekuasaan," ucap Raden Hayam Wuruk ketika mengunjungi Kedaton Sunda. "Tapi sejarah telah membawa kita dalam perselisihan dan perang yang tidak pernah usai."
Prabu Linggabuana menyambut kedatangan Raden secara damai. "Lalu apa yang akan Anda lakukan untuk memutus perselisihan yang telah berlangsung lama antara kita?"
"Jika Prabu merestui, saya hendak meminang putri Dyah Pitaloka untuk menyatukan daratan Java sejajar antara wilayah Kaprabuan dan Karadenan," jawab Raden Hayam Wuruk sungguh-sungguh.
Kemudian, putri Dyah Pitaloka setuju untuk mengakhiri konflik panjang dan bersedia dipinang sang Raden muda dari Kedaton Jawa. Akan tetapi, panglima Gajah Mada yang ingin menyatukan daratan Nusantara mengkhianatinya. Sebab dia telah berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusa Kecil di timur Java dan sebagian wilayah Kademangan di Borneo juga sebagian wilayah Kasepuhan di Celebes sesuai isi sumpah Palapa ketika Karadenan dipimpin oleh ayah Raden Hayam Wuruk.
Ditengah iringan putri Kaprabuan menuju Kedaton Jawa, panglima Gajah Mada datang dan memaksa putri Dyah Pitaloka untuk dijadikan upeti sebagai tanda tunduknya wilayah Kaprabuan. Perselisihan itu pun terjadi di alun-alun Bubat hingga akhirnya putri Dyah Pitaloka yang tidak setuju dengan panglima Gajah Mada pun lebih baik memilih bunuh diri.
Berita buruk itu pun mengguncang dua Kedaton besar. Raden Hayam Wuruk yang merasa malu mengasingkan diri sementara, pasukan Kaprabuan datang menyerang dengan membawa bala bantuan dari wilayah Kadatuan di Andalas. Selain itu, panglima Gajah Mada yang memegang teguh sumpahnya meminta bantuan dari pasukan Kademangan dan Kasepuhan yang menjadi tundukkannya.
Mendengar kabar perang yang tidak pernah usai, Raden Hayam Wuruk menghitung penanggalan yang melahirkan sistem kalender zodiark yang berarti lingkaran kehidupan dari bahasa kuno Atlan. Dengan kemampuan sastra yang dimilikinya, beliau mengendalikan dua belas batu akik warisan leluhur untuk menciptakan penanggalan itu, membuat para penjaga rasi bintang utama turun ke dunia.
"Aku berharap demi ibu Pertiwi, perang ini akan berakhir," ucap Raden Hayam Wuruk. "Dan kelak jika ada anak terlahir dari pencampuran darah Sunda dan Jawa, Nusantara akan bersatu mengakhiri penderitaan di dunia ini."