GALUH

Jeff Harlo
Chapter #207

S5. Tanah Badui

Menembus tebalnya kabut di kedalaman hutan Halimun, membawa Pitung dan Renggi masuk ke wilayah tanah Badui. Tidak seperti kebanyakan tanah negeri yang memiliki penjaga dan dinding pelindung wilayah, tanah Badui menyambut kedatangan mereka layaknya pulang ke rumah.

Tidak ada jalan besar yang penuh lalu lalang kereta dari logam yang ditarik binatang tertentu. Bahkan siapapun yang melihat kedatangan orang asing, maka dialah yang menyambut orang asing itu memasuki wilayah tanah Badui.

"Bade ka saha?" tanya seorang warga yang melihat kedatangan Pitung dan Renggi. Di sana ada beberapa warga yang berjalan menuju ladang di pagi itu.

Dengan hormat Pitung menjawab. "Kami ingin bertemu Sandanu yang datang bersama Nyai Anteh."

"Oh iya," balasnya. Kemudian, ditunjukkan untuk mengikuti jalan itu sampai menemukan alun-alun. Dan di sana ada seorang teman dari Sandanu yang juga datang bersama Nyai Anteh untuk bisa ditemui.

Tanpa bertanya lagi, warga tanah Badui itu meninggalkan orang asing yang datang di tanah negerinya untuk pergi ke ladang. Mereka tidak menaruh curiga kepada tamu itu. Begitu pula, Pitung dan Renggi melanjutkan perjalanannya memasuki wilayah pemukiman tanah Badui dan diperhatikan oleh lutung-lutung yang bergelantungan di pepohonan.

Di tanah Badui ini memegang prinsip hidup kekerabatan bagi setiap warganya, sehingga mereka akan saling melindungi sama lain jika ada orang asing datang melakukan kejahatan. Meskipun demikian, sebagai sebuah tanah negeri tidak membuat tanah Badui memiliki sistem keamanan yang ketat karena memang tanah Badui tidak pernah disinggahi pihak asing, baik untuk perdagangan ataupun hubungan lain.

Selain letaknya yang berada di tengah hutan berkabut, tanah Badui juga menjorok di sebelah barat daya pulau Java yang langsung menghadap Laut Lepas. Mata pencaharian penduduk tanah Badui umumnya adalah bertani dan berburu, ada juga sebagai nelayan yang hidup di wilayah pesisir. Mereka masih menggunakan sistem barter sehingga mata uang tidak berlaku di sini.

"Inilah satu-satunya tanah negeri yang hidup berdampingan dengan alam di negeri Sabda," ucap Pitung. "Mereka hidup untuk menjaga dan melestarikan alam sekitarnya."

Dilihatnya sepanjang jalan, Renggi memperhatikan warga yang melakukan aktivitas bepergian dengan berjalan kaki. Jalan utama yang rapih dengan tatanan batu tidak cukup luas bahkan berkelak-kelok mengikuti tatanan rumah penduduk yang acak. Beberapa sisi jalan ditanami bunga bokor yang penuh warna, dan beberapa di depan halaman rumah terlihat ibu-ibu menganyam bambu.

Rumah-rumah pun dibangun sesuai kontur tanah yang tidak rata sehingga tiang pondasi kadang tidak sama panjangnya. Dengan arsitektur rumah sulah nyanda berjenis rumah panggung dengan pondasi batu kali bertiang bambu, terdiri dari sosoro sebagai teras dan tepas sebagai ruangan rumah untuk kegiatan keluarga yang tertutup dinding dari anyaman bambu tanpa jendela. Kemudian ada ipah, bagian belakang rumah yang berfungsi sebagai dapur dan menyimpan persediaan pangan. Atap rumah tersebut, dari anyaman daun nipah.

Di persimpangan jalan dari arah samping, Pitung dan Renggi berpapasan dengan sekelompok pemuda yang bergotong-royong memanggul batang bambu yang mereka ambil dari hutan untuk keperluan alat rumah tangga.

"Hey bocah!" panggil Pitung melihat anak remaja yang dikenalnya.

Lihat selengkapnya