GALUH

Jeff Harlo
Chapter #211

S5. Pulau Enggano

Tidak menghiraukan permohonan anak yang ditemukan mengapung di Laut Lepas, rombongan kapal Mena tetap akan menuju pulau Enggano untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di sana. Itu semua adalah keputusan Sandanu untuk menghentikan perbudakan rakyat tanah Enggano dari kepentingan elit pemerintahan negeri Tirta.

Sejak insiden Pesta Pantai di teluk Dhamna, Sandanu berpetualang di antara sudut pandang pemerintah lima negari besar akibat ancaman Arakar. Hal tersebut membuat Sandanu berpendapat bahwa pemerintah dibawah kepemimpinan Pancadev tidak bermasalah karena sikap dan tindakan Pancadev yang Sandanu saksikan dalam pertempuran melawan Arakar.

Sandanu tidak berpikir bahwa Tirtadev keempat yang rela mempertaruhkan nyawa di dalam istana Dhamna demi keselamatan banyak orang, dalam sistem kepemimpinannya ada sebuah perbudakan demi mendapatkan kekayaan alam seperti yang dialami oleh rakyat tanah Enggano yang tertekan akibat kerja paksa di pertambangan.

Saat ini, terlihat sebelum matahari terbit, Sandanu berdiri di atas haluan kapal memastikan kapal Mena akan berlabuh di pulau Enggano. Sebuah pulau kecil di arah barat daya daratan Andalas. "Maju terus kita akan segera sampai!" Sandanu berteriak menunjukkan jalan kepada Galigo.

Sesaat memasuki perairan dangkal, kapal Mena berhenti di sebuah muara sungai yang dikelilingi oleh tumbuhan mangrove. "Kamu bisa memilih tempat berlabuh apa tidak?" Galigo keluar dari ruang kemudi dan melihat tumbuhan mangrove memenuhi bibir pantai.

"Kamu lihat matahari belum terbit kan?" Balas Sandanu masa bodo. "Jadi jangan salahkan aku!"

Di samping itu, Pitung justru memastikan tempat mereka berlabuh kepada anak yang mereka antar ke pulau Enggano. "Apa kamu mengenal tempat ini?"

Perlahan sinar matahari menerangi dan beraneka ragam tumbuhan mulai terlihat seperti pohon nyirih, bubuta, teruntum dan nipah yang mendominasi di bibir muara. Diperhatikan anak asal tanah Enggano yang bernama Appo oleh semua orang.

Appo mengangguk sambil melirik dengan waspada. "Ini belakang pulau yang sering digunakan untuk melarikan diri oleh pekerja tambang."

Belakang pulau yang dimaksud adalah bagian sisi pulau Enggano yang tidak menghadap ke arah daratan Andalas. Mereka pun turun dari kapal, mengikuti Appo memasuki hutan mangrove lewat jalur papan kayu yang dibangun oleh penambang yang melarikan diri, dilanjutkan dengan berpijak pada akar-akar pohon.

Selama melewati hutan mangrove, terlihat kelompok binturong melompat di dahan-dahan pohon secara perlahan. Binatang itu berbulu hitam lebat dan memiliki kumis panjang.

Appo sendiri menceritakan bahwa dirinya melarikan diri dengan dua puluh orang termasuk dirinya menggunakan kapal dayung. Karena tidak ada yang tahu arah mata angin, kapal mereka pun terombang-ambing di Laut Lepas hingga seekor monster laut menghantam kapal membuatnya karam. Appo seorang diri bisa selamat karena menggunakan potongan kapal yang mengapung.

Keluar dari hutan mangrove, mereka dikejutkan oleh hutan yang dihiasi bunga besar dipermukaan tanah dengan warna merah dan bau yang menyengat. Bunga itu tumbuh di atas tanah tanpa memiliki batang dan daun, dikenal dengan nama bunga raflesia.

"Kenapa bau busuk ini menyengat sekali?" tanya Mutia.

Appo menunjuk bunga raflesia. "Bau itu berasal dari bunga ini, keberadaan bunga tersebut membuat pasukan keraton enggan mengejar penambang yang kabur."

"Apa kita akan melewati hamparan bunga itu?" Kali ini Galigo yang bertanya.

Lihat selengkapnya