Mulai dengan mengatur rencana, Pitung mengajak rombongannya kembali ke kapal Mena yang dijaga oleh Apo dan lima gadis Enggano, sekaligus diawasi oleh Renggi dan Boe. Ketika tahu di sana ada salah satu gadis yang membangkitkan kekuatan sastra dengan batu akik yang ditemukannya, Pitung meminta Isogi untuk melatih Kaana sebagai bagian dari rencana yang dibuat.
Di samping Isogi yang mengajari Kaana mengontrol kekuatan batu akiknya, Pitung juga memerintahkan Apo untuk kembali ke pertambangan agar mengabarkan rencana itu kepada para pekerja tambang dengan dibantu Boe yang menyusup ke sana. Selain itu, Mutia ditugaskan menemani gadis lain yang menjaga kapal Mena untuk menyampaikan pesan ke setiap perkampungan dengan dibantu Galigo untuk menjaga dari para pasukan pengawas pihak keraton.
Ketika di dalam kapal hanya ada Sandanu dan Renggi, Pitung menyampaikan sebuah rencana untuk penyerangan menuju keraton ketua suku di pusat tanah Enggano. "Untuk itu aku dan Renggi akan mencoba meninjau pusat tanah Enggano."
Waktu itu mereka berkumpul di ruang dapur kapal sambil minum teh bersama untuk lebih santai membicarakan rencana. Dan segala pembahasan merupakan buah pemikiran dari Pitung yang tentu sudah disetujui oleh Isogi dan lainnya, kali ini mereka di sana hanya membahas segala detail dan kemungkinan terburuk dari rencana yang disusun jika mengalami kendala.
"Lalu bagaimana denganku?" tanya Sandanu. Dia merasa dirinya hanya berdiam saja semenjak yang lain pergi menjalankan tugasnya masing-masing, sementara di sisi sungai Isogi sedang melatih Kaana teknik pengendalian batu akik.
Pitung tahu bagaimana sikap Sandanu sebelumnya, jika dia mengajak Sandanu menuju pusat tanah Enggano bisa saja anak itu bertindak ceroboh, meskipun Pitung menyadari sedikit perubahan tindakan Sandanu yang menggunakan pemikiran lebih dulu.
"Aku sudah memberitahu Mutia untuk mengajak para tetua berkumpul di perkampungan adat Kauno, nanti saat Galigo kembali ke sini, kamu bisa menemui semua tetua dan sampaikan apa rencana kita yang sudah dibicarakan tadi."
"Rencana kamu terlalu panjang untuk diingat," ketus Sandanu. "Apa aku bisa menjelaskan semua rencana ini sedetil seperti yang kamu sampaikan pada mereka nanti?"
Pitung melirik Renggi dan pemuda Borneo itu hanya tersenyum simpul. "Dunia ini sekarang bergantung padamu sebagai Satria Galuh, apa kamu masih bisa setumpul itu dalam berpikir."
Ucapan Pitung benar-benar tajam membuat perasaan Sandanu kesal ketika dirinya tidak bisa menentukan sendiri apa yang mesti dilakukan sementara semua usaha telah direncanakan oleh Pitung.
"Aku tidak pernah berharap sebagai pahlawan ataupun sesuatu yang menjadi harapan banyak orang, semua tindakanku hanya sebuah keputusan sepihak untuk mencapai tujuanku sendiri."
"Tapi bukankah kamu ingin menciptakan dunia yang damai," sahut Renggi. Baruna dari Borneo itu menyengir dan berharap Sandanu maklum dengan keadaan saat ini yang seolah memang dikendalikan oleh Pitung.