Sore hari yang cerah di tengah kesibukan warga puak Kamay setelah menjalankan aktivitas, tiba-tiba turun hujan lebat dan dikagetkan dengan ledakan yang mengelilingi pusat tanah Enggano. Kepulan asap pun membumbung tinggi menghiasi langit, menciptakan ketakutan warga dan kekacauan di jalanan akibat orang-orang berhamburan mencari tempat aman.
Di sisi lain, setelah hujan tiba-tiba reda, warga asli tanah Enggano dari lima perkampungan adat berbondong-bondong memasuki pusat tanah negeri dengan membawa berbagai perkakas dari pekerja tambang atupun menuliskan pesan terhadap warga puak Kamay mengenai kebebasan.
ENGGANO, RUMAH KAMI.
HAPUSKAN PERBUDAKAN DI TANAH ENGGANO.
PUAK KAMAY HAHYALAH PENDATANG YANG MEREBUT RUMAH KAMI
Berbagai macam tulisan dalam aksara rejang dibentangkan dalam atribut yang mereka bawa dan mengaraknya menuju keraton Selebar sambil menyerukan tentang kebebasan. Sebagai warga puak Kamay yang tidak tahu mengenai penderitaan mereka selama ini hanya mampu tercengang dan tak berani mencegah aksi mereka.
Semua ini adalah opsi baru yang dipikirkan oleh Pitung untuk melakukan aksi demo ketika melihat para pejabat tinggi Pancadev datang berkunjung di keraton Selebar untuk sebuah pertemuan penting. Dengan kemampuan pengendalian batu akiknya, melalui kekuatan sastra tingkat mantra, Pitung mengabarkan hal tersebut kepada Isogi yang sedang berkumpul dengan para tetua dan menyetujui jika memang warga asli tanah Enggano akan meruntuhkan dinding penghalang kota.
Kabar mengenai Boe yang berhasil membuat kekacauan di lahan tambang pun langsung dikerahkan untuk masuk kota setelah dinding dihancurkan, tanpa perlu mengganti pakaian kerja mereka yang lusuh akibat perlakuan pengawas yang tidak manusiawi. Beberapa pengawas tambang pun ditangkap dan diarak untuk dipertontonkan bahwa selama ini sistem pertambangan adalah bentuk sebuah perbudakan yang tidak memanusiakan manusia.
Ketika sistem penerangan kota mulai menyala dalam waktu petang, rombongan warga asli tanah Enggano dari lima puak telah berkumpul di depan keraton Selebar. Hal ramai tersebut, membuat pertemuan petinggi Pancadev dan beberapa tamu lain keluar untuk melihat aksi yang terjadi.
"BEBASKAN RAKYAT ENGGANO, HAPUSKAN PERBUDAKAN, ENGGANO ADALAH RUMAH KAMI."
"Ana apa Iki?" Terlihat temenggung Panginyongan merasa kecewa melihat pemandangan buruk yang sedang terjadi di tanah Enggano.
Lubuk Bengkulu yang tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya di tanah Enggano, meminta penjelasan kepada ketua suku tanah Enggano yang berasal dari keluarga bangsawan. "Jelaskan semua keributan ini yang terjadi?"
Ketua suku yang panik pun tidak bisa menjawab apa-apa. Dia melakukan tindakan perbudakan terhadap rakyat Enggano atas kehendaknya sendiri yang mendapatkan perlindungan dari pihak elit dunia dan hal tersebut tidak diketahui oleh pihak istana Titradev. Beliau pun selalu mengatur agar hal tersebut diketahui oleh petinggi negeri saat terjadinya kunjungan.
Melihat reaksi ketua suku tanah Enggano yang memang telah memalukan pemerintahan negeri Tirta di depan para petinggi Pancadev yang lain, Lubuk Bengkulu segera memerintahkan prajurit istana untuk mengamankan.
Di tengah aksi demo, Budayawan Buton melihat rombongan Sandanu. Beliau mengenali mereka sejak peristiwa penyerangan Arakar di istana Luwuk, bahkan nyawanya yang terancam berhasil diselamatkan oleh Mutia yang memberikan penawar racun. Budayawan Buton menghampiri mereka. "Bagaimana kalian bisa ada di sini?"
"Tuan Lakilaponto," sambut Isogi mewakili temannya. "Kami dalam sebuah pelayaran dan tidak sengaja singgah di tanah Enggano."
Isogi dengan dibantu oleh Pitung menjelaskan apa yang telah terjadi di tanah Enggano. Para tetua yang juga berada di tengah aksi tersebut pun membenarkan. Bahkan paman Ello yang terlihat bersama orang tuanya menjelaskan bagaimana puak Kamay sebagai pendatang telah merebut tanah Enggano dari mereka.