Di pesisir sebuah pulau tidak berpenghuni di wilayah kepulauan tanah Mentawai, terlihat berdiri tiga tenda perkemahan dan sebuah kepulan asap dari sisa unggun api yang terbakar semalam. Terdengar suara deburan ombak terpecah menabrak ratusan bangkai kapal yang berserakan.
Segerombolan langkah kaki meninggalkan jejak di atas hamparan pasir pantai. Mengerumuni perkemahan di pulau yang mereka namai pulau Siruamata. Pulau yang setahun terakhir mengkoleksi berbagai macam bangkai kapal dari penjuru perairan di dunia.
Segerombolan orang, pagi itu mengepung perkemahan kecil dan memperhatikan tiga tenda yang dibangun mengerucut dari kerangka batang kayu dan dilapisi kain tebal dari kulit pohon. Mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa setempat yang hanya dipahami oleh mereka.
Ketika seorang gadis berambut marun terbangun dan keluar dari dalam tenda, segera mereka menodongkan anak panah yang terpasang di busurnya sebagai ancaman.
AAA....
Gadis itu berteriak ketakutan hingga membangunkan temannya yang tidur beralaskan kulit binatang sebagai penghangat semalam. Saat semua terbangun, mereka mendapati segerombolan orang yang tentunya penduduk setempat, orang Mentawai.
Melihat anak panah yang seakan siap untuk dilepaskan jika ada perlawanan membuat semuanya harus akan tangan. Pitung menyadari bahwa anak panah itu pasti beracun. "Jangan ada yang melawan!"
Kemudian, mereka pun terpaksa mengikuti perintah dari aba-aba penduduk setempat yang menangkapnya seakan mereka tidak saling memahami bahasa satu sama lain.
Penduduk tanah Mentawai yang menangkap rombongan penginap di pantai Siruamata memintanya untuk naik kapal dan membawa mereka ke pulau utama tanah Mentawai, pulau Siberut. Meskipun penduduk tanah Mentawai tidak tahu cara mengemudikan kapal, tetapi mereka tidak cukup peduli dengan kecanggihan kapal logam itu.
Selama ini, tanah Mentawai menjadi bagian dari wilayah negeri Tirta sejak pertengahan pemerintahan Tirtdev pertama yang berlangsung selama 34 tahun yaitu, Serimat Rajendra Maulimali. Meskipun kenyataannya penduduk tanah Mentawai tetap mengisolasi diri dari dunia luar dan tidak ada satu hubungan pun dengan pihak istana, bahkan tidak ada kedutaan yang mewakili berdirinya tanah Mentawai di pusat negeri Tirta.
Terlihat penampilan pria-pria Mentawai yang menangkap mereka, hanya mengenakan sebuah kain cawat dari kulit kayu baiko yang dinamakan kabit sebagai penutup kemaluan dan sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukiran tato. Selain itu, mereka menggunakan manik-manik sebagai pelengkap penampilannya yang disebut tudak dan yang lebih menyeramkan dari orang Mentawai adalah giginya yang terlihat runcing dan tajam sebagai bagian dari tradisi untuk mengikir gigi.
Sesampainya di pulau Siberut, mereka pun dibawa ke dalam hutan menuju tempat tinggal penduduk tanah Mentawai dengan kedua tangan yang terikat oleh akar pohon. Mengikuti aliran sungai yang menjadi habitat hewan sejenis kura-kura bernama tuntong. Sampai mereka di tengah hutan yang merupakan tempat tinggal penduduk dalam satu kesatuan.
"Kita mungkin akan dijadikan tumbal." Isogi membuat yang lainnya makin merasa khawatir. "Penduduk tanah Mentawai merupakan orang kuno yang masih hidup sampai sekarang."
Isogi memperhatikan penampilan penduduk Mentawai yang terlihat menggunakan bahan alami. Selain pria yang memakai kabit, wanita disana menggunakan rok dari pelepah daun pisang yang disebut sokgumai dan perhiasan manik-manik yang diuntai dengan benang karet membentuk penutup bagian dada wanita.
Rumah-rumah dibangun dengan cukup besar yang bisa menampung beberapa keluarga yang disebut sebagai uma. Rumah uma merupakan sebuah rumah panggung memanjang dari bahan utama kayu arriribuk dengan satu bagian terpisah di depan sebagai ruang tamu yang disebut talaibo. Atapnya membentuk segitiga tampak depan dengan ketinggian menjulang dari rumbia yang menjulur menutupi sebagian dinding.