GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #224

S5. Arah yang Pasti

Dugaan salah satu Trinata merupakan anggota Caturenzi dituturkan oleh Kiliran Jao sebab pihak istana negeri Tirta tidak mampu mencari keberadaan Caturenzi tersebut yang merupakan satu angkatan dengan tiga anggota lainnya yang telah gugur pada insiden pesta pantai dalam penyerangan Arakar. Diketahui, terakhir jejak anggota Caturenzi tersebut mendapatkan perintah dari Tirtadev ketika mendengar perang Tetrabarun di perairan tanah Mentawai.

Gelar Caturenzi diberikan kepada keluarga bangsawan istana yang lulus seleksi sebagai petinggi kekuasaan Tirtadev yang berjumlah empat anggota. Setiap Caturenzi memegang sebuah materai khusus sebagai tanda keaktifannya yang bisa menunjukkan keberadaannya dalam menjalankan tugas jauh masih hidup, dan setiap anggota yang gugur maka materai yang dimilikinya akan kembali pada tempatnya dekat singgasana Tirtadev.

Ketika gugurnya tiga anggota Caturenzi akibat serangan Arakar, maka tiga anggota baru dilantik sementara satu posisi tetap kosong sebab keberadaan satu anggota Caturenzi menghilang keberadaannya sekalipun diketahui bahwa beliau masih hidup di suatu tempat. Karena perginya Caturenzi itu, pihak istana menduga bahwa berhasilnya penyusupan Arakar di istana Dhamma ada pihak dalam yang membantu.

Dugaan itu diperkuat bahwa anggota Arakar merupakan seorang Tetrabarun yang berhasil memenangkan perang di perairan tanah Mentawai, sementara hilangnya keberadaan Caturenzi itu pun dalam tugas mengawasi jalannya perang tersebut agar tidak mendekat ke wilayah daratan Andalas. Kiliran Jao pun menambahkan bahwa, ketiga anggota Arakar yang melakukan penyerangan di istana Dhamma pun terlihat di tanah Minangkabau dan membunuh gurunya, Datuak Marunggul.

Berbekal informasi dari Kiliran Jao, kali ini pelayaran kapal Mena memiliki tujuan yang pasti untuk mencari keberadaan Trinata. Terlihat, di lepas pantai pulau Siberut, kapal Mena siap berlayar meninggalkan tanah Mentawai.

"SELAMAT TINGGAL SEMUANYA!" teriakan Boe mewakili semua penumpang kapal Mena mengucapkan selamat tinggal kepada mereka yang ditinggal di tanah Mentawai.

Setelah mengantar kapal Mena kembali berlayar, Pitung bersama Kiliran Jao menuju rumah rusuk mengikuti ketua suku tanah Mentawai untuk mencari harta Karun Trio Legendaris. Di dalam rumah rusuk sendiri terdapat banyak sekali peti harta dari bangkai kapal yang dikumpulkan tanpa dibuka sama sekali oleh penduduk Mentawai.

Ketua suku tanah Mentawai yang mampu melihat masa depan melalui ritualnya sudah menduga bahwa akan ada hal penting mengenai terdamparnya ratusan bangkai kapal di perairan mereka. Karena itu, semua harta yang diambil disimpan sampai waktu semuanya untuk dibuka seperti sekarang.

Ketika sedang memeriksa peti-peti harta itu, Pitung mencoba mengobrol dengan Kiliran Jao. "Tugas para Dewan kini sudah selesai, apakah kamu masih memiliki tugas lain dari pihak istana?" Sebelumnya, Pitung telah mengenal Kiliran Jao ketika dibawa oleh tuan Tian Malaka di pulau Nusakambangan.

"Aku memutuskan untuk berhenti tugas dari pihak pemerintah negeri Tirta dan kembali ke tanah Minangkabau," jawab Kiliran Jao. "Aku pikir bisa menemani masa kecil anak pertama tapi setelah bertemu dengan roh bintang Eridanus, mungkin aku harus meninggalkan dia di keraton Pagaruyung bersama ibunya."

"Memangnya apa yang tersimpan di harta peninggalan Trio Legendaris itu?"

"Aku juga tidak tahu pasti dengan maksud roh bintang Eridanus, tapi hal itu berhubungan dengan Sanghyang Taya." Sebelumnya Kiliran Jao tidak sempat menceritakan mengenai sosok tersebut.

Pitung pun terkejut mendengarnya. "Siapa Sanghyang Taya?"

Lihat selengkapnya