GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #227

S5. Tanah Nias

Sebagai pulau terluar, tanah Nias dihuni oleh pendatang dari kerajaan Nangroe Aceh di masa lalu yang berpusat di tanah Aceh masa kini dan sejak awal terbentuknya wilayah lima negeri besar, tanah Nias telah menjadi bagian wilayah negeri Tirta. Karena letaknya di perairan laut lepas, sejak dulu tanah Nias telah menjadi tempat persinggahan para perompak hingga dibangun sebuah benteng pertahanan dengan batu karang yang dibangun di masa lalu.

Tatanan kehidupan penduduk tanah Nias terdiri dari beberapa desa yang diketuai oleh kepala desa, sementara pemerintah tertinggi di tanah Nias dipimpin oleh ketua suku yang tinggal di dalam keraton Gunungsitoli yang berada di atas bukit tinggi menghadap laut perairan dalam lingkaran benteng batu karang.

Penduduk tanah Nias membangun rumah dengan tatanan yang saling berhimpitan di kedua sisi sepanjang jalan berpola dari bentuk konfigurasi L dan T. Rumah omo sebua yang memiliki pondasi dari batu yang ditancapkan ke tanah untuk tahan goncangan dan kayu gelondongan sebagai bagian penyangga rumah layaknya pilar yang tinggi. Material keseluruhan bangunan menggunakan kayu membentuk bangunan persegi atau oval dengan beberapa lantai dengan bagian dinding menjorok ke depan dan belakang dari pondasi, sedangkan atapnya dari rumbia.

Tatanan sosial pun terlihat di tengah penduduk tanah Nias melalui jenis omo sebua yang dibangun seperti omo hada yang memiliki ukiran unik menunjukan kekayaan dan omo ni'olasara yang memiliki ukiran bermotif di tiangnya sebagai status bangsawan. Selain itu, rumah omo alo gosali berbentuk megah dan luas penuh ukiran emas dan perak menjadi bangunan pusat pemerintahan ketua suku di keraton Gunungsitoli.

Di malam hari ini, ketika penduduk tanah Nias beristirahat di dalam rumah omo sebua, sebuah lonceng dan bunyi-bunyian tanda bahaya menggema di seluruh pusat tanah negeri dan desa-desa. Hal itu sebagai tanda adanya bahaya besar. Semua berawal ketika sinyal bahaya dari mercusuar ditangkap oleh penjaga pelabuhan tanah Nias.

Seorang laksamana muda bergegas menemui ketu suku di keraton Gunungsitoli, mengenakan baju baru ohulo berwarna merah dengan corak segitiga kombinasi warna hitam dan emas. Dia pun menggunakan kalung kalabubu yang terbuat dari tempurung kura-kura sebagai simbol jabatannya.

"Bahaya menghampiri tanah Nias, armada perompak menerobos pertahanan pulau Hinako," ucap laksana muda tersebut.

Di singgasana, ketua suku telah mempersiapkan diri ketika mendengar tanda bahaya menggema. Beliau pun menggunakan pakaian kebesaran yang berwarna kuning dengan corak persegi warna emas yang disebut nim obakola dengan mahkota emasnya, rai hogo.

"Segera evakuasi penduduk dan siapkan seluruh pasukan untuk melindungi tanah Nias."

"Siap!"

Kemudian penduduk tanah Nias pun di evakuasi menuju sayap pulau Nias. Di tengah malam itu iringan obor memperlihatkan perjalanan penduduk menuju tempat evakuasi ke arah perbukitan. Proses evakuasi berjalan sangat tertib karena kekompakan penduduk dalam menghadapi tanda bahaya sebagai penghuni pulau terluar. Setiap kepala keluarga yang telah terlatih mampu membimbing keluarga masing-masing.

Di tengah evakuasi, terlihat seorang gadis memeluk kaki ibunya. "Ina (ibu), ya'o (aku) takut!"

"Ina, bersama Mö (mu)," kemudian ibu itu menggendong gadis itu sambil menjinjing buntalan perbekalan.

Di samping penduduk menuju tempat evakuasi, pasukan pun siap siaga di pesisir pantai di balik dinding fahombe yang dibangun sepanjang pesisir antara pohon-pohon kelapa. Pihak istana telah membuat peraturan bagi setiap pemuda di umur 15 tahun wajib mengikuti latihan perang dan seni persilatan, karena itu banyak pemuda yang turun langsung untuk melindungi tanah kelahiran.

Lihat selengkapnya