"Apa yang mereka inginkan dari tanah kami kali ini?" Ujar ketua suku resah.
Terlihat para abdi dan prajurit bersiap siaga di setiap sisi keraton, dan para Laksamana berdiri mendampingi ketua suku yang kini berada di halaman ruang tawole yang berfungsi sebagai ruang pemerintahan. Sementara itu, para pejabat dan tetua lebih memilih mengevakuasi diri bersama penduduk sekalipun keluarga ketua suku tetap bertahan di keraton seperti istri dan anak-anaknya.
"Yang mulia Siwalawa," seru istri ketua suku menghampirinya, dia mengenakan pakaian ni obowo gafasi yang berwarna kuning dengan corak bunga kapas. "Mari sarapan terlebih dulu agar cukup tenaga dan menenangkan diri, ya'o telah mempersiapkannya."
Melihat wajah istrinya setenang itu, ketua suku pun mengajak para Laksamana untuk ikut sarapan bersama di dalam keraton tepatnya di ruang forema yang berada di belakang tawole. Mengenai keraton Gunungsitoli terdapat di sebuah bukit bernama Bawomataluo dan dibangun berundak sesuai kontur tanah.
Terlihat beberapa hidangan telah disiapkan seperti babae yang berbahan kacang yang dimasak halus dengan daging, tamboyo atau ketupat dari beras ketan, fakhe niwalugo berupa nasi yang dimasak di atas priuk tanah liat hingga menghasilkan kerak dan silio guro yang merupakan udang tumbuk dicampur dengan kelapa parut dan dibakar menggunakan daun pisang.
Ketika ketua suku menyantap sarapan bersama keluarga dan para Laksamana yang siap mendampingi dalam keadaan darurat, tiba-tiba muncul sebuah kupu-kupu kertas. Ditangkapnya kupu-kupu itu oleh anak gadisnya yang mengenakan gaun afasi niha dari kain yang dipintal.
Di telapak tangan putri Laosi, kupu-kupu kertas itu menjadi selembar surat. "Ama (ayah), ada sebuah surat."
Ketua suku pun menerima surat tersebut dari putrinya yang datangnya berasal dari Laksamana Malahayati. Laksamana Malahayati yang saat itu berada di armada Gorga sebagai sandera memberitahukan bahwa kedatangan Baruna Intcjeh menyerang tanah Nias untuk menjadi seorang Caturenzi.
"Siapa itu Caturenzi?" Ucap ketua suku Siwalawa.
Istrinya yang duduk di samping menyahuti, "mungkinkah beliau bangsawan yang datang menuju danau tiga pulau dan tidak pernah kembali?"
"Bangsawan itu tidak kembali karena menjaga Liana Lagara agar tidak tumbuh kembali, ina," kata putri Laosi.
"Kenapa Baruna Intcjeh mengincarnya?" Ketua suku Siwalawa masih tidak mengetahui. Tapi beliau sadar bahwa Caturenzi tersebut sudah cukup lama di tanah Nias dan keberadaannya pun hampir terlupakan.
Beberapa tahun yang lalu, di atas danau tiga pulau muncul sebuah tumbuhan raksasa yang merambat sampai ujung langit. Khawatir akan hal buruk, ketua suku menghubungi seorang bangsawan istana di tanah Mandailing agar menebang pohon merambat ke langit yang dinamai Liana Lagara. Akan tetapi, dengan hilangnya Liana Lagara, bangsawan itu pun tidak pernah kembali dari danau yang diyakini dihuni oleh hantu.
Danau Sowanua merupakan daerah terlarang di tanah Nias. Bahkan kemunculan Liana Lagara menjadi hal yang tidak terungkap sampai saat ini. Nama dari tumbuhan tersebut juga sesuai cerita rakyat mengenai keturunan Inada Sirici yang turun dari langit melalui pohon merambat.
"Danau Sowanua adalah tempat suci," seorang Ere atau pemuka agama datang dengan mengenakan pakaian serba putih. "Di sana tempat berpijaknya leluhur orang Nias, Ono Mbela!"
"Ere?" Ketua suku Siwalawa menatap sang pemuka agama. "Apa benar leluhur kita adalah sosok bidadari dari Swargaloka dengan mata birunya?"
"Inada Sirici adalah bidadari dari kahyangan dan keenam anaknya turun ke dunia mencari keberadaan pohon kehidupan Sigaru Torra."