GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #251

S6. Tanah Aceh

Tanah Aceh, 3 Setra 666 Z.

Pemandangan tatanan pusat tanah Aceh begitu memukau. Tatanan rumah penduduknya berjajar rapat sepanjang jalan besar, berupa rumah panggung yang memiliki ketinggian kolong melebihi orang dewasa dan menjadi tempat kegiatan di rumah seperti menenun atau menerima tamu.

Rumah krong bade yang terbuat dari bahan kayu dan atap rumbia itu, memiliki daun pintu yang cukup rendah sehingga untuk memasuki harus menundukkan kepala. Tidak seperti kebanyakan rumah panggung, rumah ini memiliki tangga di bagian kolongnya. Selain itu, terdapat pula ukiran dinding yang menjadi penanda status sosial pemiliknya.

Semerbak wangi bunga jeumpa menghiasi sepanjang jalan besar dari pohonnya yang ditanam sebagai peneduh. Selain itu, terdengar kicauan merdu burung kucica berekor kuning yang hilir mudik di antara pohon-pohon jeumpa.

Terlihat, keramaian orang berlalu-lalang menjalani aktivitasnya masing-masing. Namun yang dirasakan Mutia dan Sandanu amat berbeda, tidak ada keramahan yang terpancar dari setiap orang yang dilewatinya. Mereka tak acuh terhadap kehadiran orang asing.

"Ada apa dengan semua orang?" Boe terheran-heran saat bertanya kepada para pemuda tapi dihindari oleh mereka.

Mutia yang menyadari perubahan penduduk sejak meninggalkan tanah Aceh pun mulai curiga. "Apa yang sudah terjadi dengan tanah Aceh, apa ketua suku itu membuat peraturan semena-mena?" Mutia tidak tahu bahwa ketua suku yang menghukum gurunya telah terbunuh oleh Aquarius di saat malam perayaan pesta pantai.

"Apa Laksamana Malahayati sempat mengatakan sesuatu kepadamu?" Sandanu memastikan Mutia yang bertemu dengannya di tanah Nias.

Mutia menggeleng kepala. "Beliau tidak menceritakan apa pun tentang tanah Aceh."

Ketika itu, mereka berlima mengunjungi pusat tanah Aceh, sementara Renggi dan Centhini memilih untuk menjaga kapal Mena di tanah genting, tempat mereka berlabuh sebelumnya. Tujuan utama mereka, setelah berziarah di makam orang tua Mutia, kini dilanjutkan menuju menara Kubah Emas.

Meskipun penduduk tanah Aceh selalu bungkam terhadap orang asing, seakan menyembunyikan sesuatu kepada para pendatang. Tapi tidak dengan seorang kakek yang berjualan makanan keliling. Dia mendekati rombongan Sandanu yang beristirahat di rumah rangkang.

Rumah rangkang sendiri merupakan bentuk fasilitas umum di tanah Aceh yang bisa digunakan orang untuk singgah atau istirahat dalam perjalanan. Rumah panggung ini tidak memiliki dinding yang tertutup, hanya ada satu ruangan di bawah atapnya dan pembatas sisi sebagai pagar.

Kakek itu menghentikan gerobak jualannya di depan rumah rangkang tempat Sandanu beristirahat dengan temannya. "Mie dek, sore-sore begini enak makan yang hangat-hangat!"

"Boleh, berapa satu piring?" Mutia yang lama tidak makan mie khas Aceh ribut ingin memesan dan mengajak yang lainnya juga.

"Cuma lima ketip de," jawab penjual mie itu.

"Kalau begitu kita pesan lima ya!"

Sebelum penjual mie aceh itu memulai masak mie aceh yang digoreng, beliau memberikan air teh hangat dan sekantung kecil berisi timphan. Kakek itu tahu bahwa mereka baru tiba di pusat tanah Aceh, dan dia memberikan makanan itu cuma-cuma untuk dinikmati selagi menunggu dirinya memasak mie.

Lihat selengkapnya