GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #254

S6. Keraton Samudera Pasai

Malam hari yang menegangkan, gemerlap penerang tanah Aceh memperlihatkan jelas keadaan di setiap sudut keraton Samudera Pasai yang kini dikuasai oleh pasukan tarekat dan seorang Nawaoza berada di sana sekarang.

Sandanu dan Mutia yang kembali ke tanah Aceh, bisa mengetahui ada banyak perubahan telah terjadi, termasuk di keraton milik ketua suku sebelumnya. Masih dengan arsitektur rumah krong bade, keraton Samudera Pasai berlapis emas dan perak setiap ukiran dinding dan pilar-pilarnya.

"Kita harus memeriksa tubuh kalian lebih dulu, mungkin ada senjata lain yang kalian miliki dan membahayakan," kata Kampiun Malik.

Isogi merasa bahwa ini berlebihan, untung saja dia tidak membawa salinan kitab pusaka yang dia dapatkan di tanah Enggano. "Tidak mungkin kan kalian meminta kami melepaskan batu akik?"

"Tentu saja tidak nona," balas Kampiun Malik. "Aku tahu bahwa batu akik adalah bagian dari kehidupan seorang Jewel."

Sebelum memasuki area keraton, Sandanu dan teman-temannya diperiksa terlebih dahulu di bagian keupaleh atau gerbang masuk keraton. Kemudian, dari pelataran utama, terlihat ada beberapa rumah rangkang tanpa atap dan tiga di antaranya berdiri di bawah bangunan utama keraton Samudera Pasai yang disebut Inong.

Karena adanya bangunan rangkang di bawah, pilar penyangga keraton lebih tinggi dari semua rumah penduduk yang ada di tanah Aceh. Sandanu dan yang lainnya harus melewati puluhan anak tangga untuk mencapai bangunan utama.

Selanjutnya, ada bagian seramoeukeu atau serambi depan. Di sana terlihat banyak pasukan tarekat berjaga-jaga dalam barisan sikap sempurna ketika rombongan Sandanu datang sebagai tamu.

"Aku kira kita datang sebagai tawanan," ketus Galigo saat memasuki ruang utama pemerintahan keraton Samudera Pasai yang kini dikuasai pasukan tarekat.

Mutia pun menyadari adanya sambutan ini sebagai sebuah bentuk dakwah dalam penyebaran ajaran Kapitayan. "Sambutan ini hanya untuk menunjukkan bahwa tanah Aceh telah sepenuhnya tunduk dalam ajaran Kapitayan."

Mutia memahami nyanyian yang dilantunkan dalam bahasa Aceh oleh para penari ketika kehadiran rombongannya memasuki ruangan Inong. Tarian rapa'i geurimpheng, itulah sambutan yang dilakukan oleh pihak keraton.

Penari rapa'i geurimpheng yang terdiri dari para pemuda, berjajar dari arah pintu ruangan hingga tempat Nawaoza kini duduk menunggu tamunya. Penari itu duduk bersimpuh memegang alat pukul yang bernama rapa'i dan melantunkan syair bersifat rohani yang diiringi gerakan badan dan kepala.

Lihat selengkapnya