GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #264

S6. Keputusasaan

Di saat para kampiun suci mengejar rombongan Sandanu, kampiun Malik seorang diri mendampingi pendeta Parmalim yang meneruskan proses ritual mengambil energi kehidupan di alun-alun. Di sana juga ada para jawara yang memimpin pasukan tarekat di tanah Aceh.

"Bagaimana kita membersihkan mayat-mayat itu?" Tanya seorang jawara.

Melihat tumpukan mayat yang banyak, kampiun Malik memikirkan cara sebagai jawaban dari pertanyaan jawara tadi. "Kalian yang akan membakarnya dan semuanya akan menjadi abu."

Pemandangan yang mengerikan akibat tindakan pendeta Parmalim membuat pasukan tarekat mulai merasakan takut untuk menyakini ajaran Kapitayan. Tapi ketakutan mereka justru membuat energi kehidupannya terserap ke dalam tongkat tunggal panaluon milik pendeta Parmalim.

Kejadian buruk yang juga menimpa pasukan tarekat yang meragukan ajaran Kapitayan, membuat semua orang makin histeris menyaksikan hal tersebut. Bahkan, siapapun yang mencoba melarikan diri, energi kehidupannya langsung diserap.

Hal ini merupakan tindakan pertama bagi Nawaoza untuk mencapai tujuan sesungguhnya dan hanya diketahui oleh kampiun suci yang sudah di sumpah setia mengamalkan ajaran Kapitayan. Sementara itu, pasukan tarekat tidak tahu dengan maksud dan tujuan Nawaoza dan kejadian ini membuat mereka semua menyesalinya.

Pasukan tarekat yang menjadi saksi malam itu, adalah bagian untuk memperbanyak energi kehidupan dan di tanah Aceh merupakan wilayah dengan pengikut terbanyak yang datang dari beberapa tanah negeri sebab saat itu ada Nawaoza yang hadir dan mereka berbondong-bondong mengikuti perintah untuk datang berkumpul.

"Kita harus yakin dengan ajaran Kapitayan dan Nawaoza," ucap Jawara Fathur. "Maka kita akan selamat."

Malam yang makin larut, mengalun teriakan orang yang merenggang nyawa akibat energi kehidupannya habis. Bahkan hembusan angin, membuat kobaran api masih melahap bangunan-bangunan di tanah Aceh. Malam ini, bisa dipastikan menjadi akhir bagi tanah Aceh dan beruntung bagi mereka yang sempat melarikan diri ketika awal datang penyerbuan dari pihak kaum adat.

Terlihat, ketua suku tanah Kluet masih hidup. Sebagai bagian dari pemimpin serangan itu, ketua suku tanah Kluet kini digantung di kayu salib dan menunggu giliran untuk diserap energi kehidupannya.

"Kalian semua akan menanggung dosa, mengikuti aliran sesat yang mengabdikan diri kepada para iblis," ujar ketua suku tanah Kluet yang sadar bahwa tindakan ini sudah sangat merusak nilai spiritual dari suatu ajaran yang diagungkan sebagai salah satu agama.

Dengan terus melakukan ritual pengorbanan itu, pendeta Parmalim menyampaikan sesuatu kepada ketua suku tanah Kluet dan beberapa Hulubang yang masih dibiarkan hidup. "Sejak awal lahirnya anak manusia di dunia, hanya untuk dipersembahkan kepada para iblis oleh manusia abadi dari Swargaloka."

"Karena itu, demi melindungi kehidupan umat manusia yang ada saat ini, perlu adanya bagian dari kita yang layak dikorbankan untuk para iblis," lanjutnya dengan tenang dan tidak memiliki rasa belas kasih terhadap mereka yang harus kehilangan kehidupannya demi tujuan sekelompok orang seperti Nawaoza.

Kampiun Malik yang sadar bahwa hal ini bukanlah perbuatan yang baik untuk mengagungkan sosok yang dianggap sebagai sang pencipta atau Tuhan terhadap Sanghyang Taya, hanya menyembunyikan pandangannya sebab ikrar sumpah yang diambil sebagai kampiun suci sudah mengikat jiwa dan raganya.

Tiba-tiba, kampiun Malik berjalan di hadapan pendeta Parmalim dan melakukan tindakan bunuh diri. Dia mengeluarkan senjata pusakanya. "Dengan ini, saya putuskan untuk keluar dari ajaran Kapitayan." Pusaka reuduh pun ditancapkannya ke dada.

"Manusia bodoh," ucap pendeta Parmalim tidak menghiraukan tindakan kampiun Malik.

Lihat selengkapnya