GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #283

S6. Waktu Sebenarnya

Sore itu, pertempuran antara pasukan perompak Baruna Kala dengan penduduk tanah Biak terjadi di laguna Numfor. Serangan dari peledak mewarnai medan pertempuran, dan terlihat dari arah pemukiman tanah Biak ada anak panah yang melesat menumbangkan pasukan perompak dari atas kapal jung.

Ketika itu, Sandikala meninggalkan kapal jung tempat Baruna Kala berada untuk mencari tahu identitas mengenai Trinata bagi tanah Biak. Dia sendiri tidak bisa membayangkan pengaruh apa yang membuat penduduk tanah Biak bisa bersatu untuk melindunginya.

Sandikala berlari di antara kapal jung untuk mendapatkan seseorang dari penduduk tanah Biak agar membaca pikirannya, mencari tahu identitas Trinata sesungguhnya bagi tanah Biak.

Ketika dia mendapatkan seorang dari atas kapal waiwor, Sandikala yang langsung memegang kepalanya untuk membaca pikirannya tersebut, dibuat terkejut. "Mustahil."

Orang yang kepalanya dipegang itu pun menyerang Sandikala dengan tombak di tangannya. sandikala menghindarinya dan meloncat ke kapal jung terdekat. Di atas dek kapal jung, dirinya memperhatikan penduduk tanah Biak.

"Bagaimana mungkin ada manusia yang tidak memiliki pikiran, dan ingatannya semua palsu." Sandikala merasakan keanehan yang tidak lazim.

Seorang pasukan perompak yang mendengarkan ucapan Sandikala pun terkejut. "Apa maksudnya Tuan?"

"Rumor mengenai pulau hantu ini, mungkin benar adanya," balas Sandikala.

Setelah itu, Sandikala bermaksud kembali ke kapal jung, tempat Baruna Kala berada untuk melaporkan mengenai hal ini. Akan tetapi, dia melihat sebuah kilatan cahaya yang muncul dari kapal jung itu.

Tiba-tiba kapal jung yang mengangkut Baruna Kala menghilang. "Apa yang terjadi?" Sandikala tidak merasakan adanya kekuatan sastra yang mengakibatkan hilangnya kapal jung itu.

Dia pun kembali memperhatikan sekitar. Suara serangan ledakan menumbangkan kapal-kapal jung yang hancur dan karam. Waktu pun berputar sangat cepat sehingga Sandikala tidak bisa memahami peristiwa demi peristiwa sampai akhir pasukan perompak pun habis, menyisakan satu kapal jung tempat dirinya berada.

"Ini membingungkan," gumamnya merasa frustasi memahami peristiwa yang ada.

Di samping itu, kapal waiwor milik penduduk tanah Biak sudah mengepung dirinya. Dan Sandikala mulai sadar bahwa waktu sudah menjelang malam.

"Menyerahlah tuan, Anda sudah kami kepung," ancam seorang pemimpin kapal waiwor.

"Siapa kalian sebenarnya?" Bentak Sandikala geram.

"Kami adalah orang-orang yang diberikan kesempatan hidup kedua oleh putri bintang kejora," sahut seseorang di atas kapal waiwor, dan disambut gemuruh semangat penduduk tanah Biak lainnya.

Mencoba memahami kalimat itu, Sandikala mengambil kesimpulan. "Kalian bukan manusia."

Lihat selengkapnya